top of page
  • Gambar penulisycmmentawai

Tarsan Samaloisa, Memetakan Potensi Desa untuk Tolak Ukur Pembangunan

Untuk itu kita dari pemerintah desa berpikir untuk mengambil titik ukur batas wilayah administrasi desa bersama dengan potensi-ptensi yang ada di dalamnya yang dapat dikelolah oleh masyarakat. Kita juga ingin mendapat pengakuan bahwa wilayah tersebut menjadi bagian administrasi Desa Sinaka, bukan Desa Bulasat atau Desa Lakkau yang mau direncanakan ke depan.

Kepala Desa Sinaka Tarsan Samaloisa. (Foto: dok. YCMM)

Desa Sinaka berada di ujung Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Berada jauh dari kecamatan, desa ini punya potensi keindahan alam berupa air terjun dan tempat pemancingan. Kepala Desa Sinaka Tarsan Samaloisa, bersama perangkat desa dan warga mengembangkan kawasan air terjun menjadi ekowisata. Untuk mendukung rencana itu, Pemdes mengalokasikan dana desa untuk membangun lokasi wisata. Simak wawancara Wartawan Mentawaikita.com untuk program inovasi desa.

Pemerintah Desa Sinaka di Kecamatan Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai saat ini sedang memetakan wilayah administrasi desa, apa tujuannya?

Kita tahu Desa Sinaka ini cukup luas dan terdiri dari 11 dusun dan akan dimekarkan menjadi 14 dusun dengan jarak antara satu dusun dengan dusun lainnya sangat jauh. Dengan jarak yang jauh ini dan luas wilayah yang cukup besar ada daerah yang belum termanfaatkan dan jarang dihuni masyarakat, baik dari segi berladang dan beraktifitas lainnya sementara kawasan tersebut merupakan daerah perbatasan antara Desa Sinaka dengan desa tetangga. Untuk itu kita dari pemerintah desa berpikir untuk mengambil titik ukur batas wilayah administrasi desa bersama dengan potensi-ptensi yang ada di dalamnya yang dapat dikelolah oleh masyarakat. Kita juga ingin mendapat pengakuan bahwa wilayah tersebut menjadi bagian administrasi Desa Sinaka, bukan Desa Bulasat atau Desa Lakkau yang mau direncanakan ke depan. Termasuk berbatasan dengan desa lainnya. Maka dengan program ini dibantu teman-teman dari YCM (Yayasan Citra Mandiri) Mentawai kita coba dan memulai untuk mendudukkan tapal batas Desa Sinaka dengan desa tetangga.

Dari pemetaan yang sedang berjalan, potensi apa yang mulai terlihat?

Tentunya ini akan dirumuskan bersama. Tapi yang sudah kita lihat itu salah satunya adanya potensi alam bagian ujung desa berbatasan dengan Bulasat, yaitu di KM 49 Trans Mentawai Pagai Selatan dimana ada air terjun Simalelet. Daya tarik yang ada ini sudah mulai kita kelola menjadi program inovasi desa sebagai tempat ekowisata. Saat ini kita sudah mengarahkan pembangunan gapura, pos jaga dan pembukaan badan jalan dari jalan utama menuju air terjun. Dan ini masih akan dibersihkan secara gotong-royong oleh masyarakat dan karang taruna agar nantinya pada peresmian kawasan ekowisata air terjun Simalelet pada akhir Desember pengunjung dapat menikmatinya dengan baik dan lebih nyaman. Sebelum dikelolah, rata-rata kunjungan pertahun, namun ini belum angka pasti karena dari informasi yang kita peroleh dari masyarakat saja bahwa yang berkunjung 200 orang. Yang datang menikmati itu dari Pagai Utara-Pagai Selatan. Kita berharap tentunya dengan ditata dan dikelolahnya dengan baik ini akan menjadi daya tarik dan masyarakat dapat berkunjung kesana.

Bagaimana pemerintah desa menjelaskan konsep pemetaan ini kepada masyarakat khususnya sibakkat laggai?

Memang ada masyarakat kita yang tidak paham terkait tujuan yang sedang kita lakukan ini. Tentunya ini menjadi tanggungjawab pemerintah desa bersama kepala dusun menjelaskan tujuan yang ingin didapat dan arahnya kemana. Kita menjelaskan kepada masyarakat dan sibakkat laggai (pemilik tanah) bahwa tujuan dari pemetaan yang kita lakukan ini dalam rangka memperjelas wilayah administrasi desa dan batas wilayah admnistrasi masing-masing dusun. Ini juga erat kaitannya dalam rangka memelihara fasilitas-fasilitas pemerintah yang ada serta memperjelas batas kewenangan pembangunan antara satu dusun dengan dusun lainnya, antara dusun dan desa. Dan ini juga dalam rangka memperjelas peruntukkannya. Dalam pemetaan ini menitikberatkan pada potensi agar masyarakat kita jelas koordinasinya kemana, potensi lahan yang dimiliki apa. Misalnya ada di lokasi tertentu masyarakat yang berladang itu dari Desa Makalo tapi wilayah administrasi yang mereka kelola ada di wilayah Desa sinaka. Ini yang mau kita jelaskan dan dudukkan.

Apakah sebelumnya soal tapal batas ini tidak ada?

Kalau kita lihat dari awalnya sebenarnya tapal batasnya sudah jelas wilayah administrasi Desa Sinaka. Namun karena faktor masuknya perusahaan kayu sehingga tata batas yang ada sebelumnya terotak-atik dan juga memunculkan sejarah asal-usul berbagai versi. Dan kalau kita lihat tujuannya itu hanya kepentingan pribadi semata dan kelompok tanpa melihat nilai muririmaua, mueeppu. Sehingga ke depannya kita mengharapkan sibakkat laggai memikirkan nasib masyarakat dan adanya tertib administrasi desa.

Bagaimana desa membuat konsep pembangunan dengan jarak antar dusun yang jauh, jumlah penduduk yang sedikit dengan program desa yang ada?

Pertama kita menggunakan program skala prioritas di masing-masing dusun. Misalnya dalam program ADD kita menggunakan kalkulasi berdasarkan jumlah jiwa pemanfaatan, skala prioritas dan faktor pendukung lainnya. Untuk kita di desa tentunya kita juga punya target dan skala prioritas. Makanya dalam setiap sosialisasi dengan masyarakat kita ingin melihat dan menggali mana yang sangat prioritas dan tidak dapat dikerjakan oleh masyarakat secara gotong-royong dan swadaya. Kalau pembangunan yang akan dibutuhkan masyarakat itu masih bisa diswadayakan maka kita minta masyarakat untuk swadaya, namun bila memang harus dibangun menggunakan ADD baik dari APBD maupun APBN maka kita akan prioritaskan dan arahkan kesana anggarannya. Kita juga melihat program prioritas daerah apa yang menjadi tanggungjawab kita di desa.

Sinaka ini punya potensi perikanan. Bagaimana pengelolaannya selama ini?

Potensi Desa Sinaka banyak. Salah satunya dari perikanan dimana nelayan tradisional kita mereka setiap harinya dalam melakukan aktifitas melaut itu menghasilkan ikan, udang kelong, udang lobster, teripang, cumi-cumi dan potensi bahari yang ada. Namun kenapa ekonominya masih sulit, karena pemasarannya yang menjadi kendala. Hasil tangkapan nelayan ini belum ada yang mengelolanya di tingkat lokal masyarakat. Mestinya potensi ini ditangkap oleh Bumdes. Ke depannya kita juga mau lihat masyarakat yang berprofesi di perikanan dan tinggal di pesisir pantai serta berada di wilayah administrasi dusun tersebut. Ini tujuannya apa, agar dalam menentukan arah pembangunan sarana dan prasarana tidak dinikmati oleh orang lain. Kita ingin mendirikan tempat penampungan ikan, tahu-tahunya yang tinggal dan menjual ikan itu dari desa lain. Jadi ekonomi masyarakat lokal itu tidak naik, yang naik itu ekonomi dari luar desa Sinaka. Rencana pembangunan dermaga di Boriai itu menjadi peluang bagi ekonomi masyarakat tentunya harus mulai kita tata dan kelola dari sekarang. Bukan ada pelabuhan dulu baru kita tata. Kalau kita tunggu pelabuhannya maka kita akan tergusur oleh pemilik modal besar, namun kalau kita sudah tata dan kelola dari sekarang sekuat apapun modal pendatang yang datang menguasai pasar perikanan di Sinaka tidak akan bisa bergerak karena dari kita sudah kuat. Saat ini pasar itu harus dikuasai oleh masyarakat lokal.

Kalau hasil pertanian masyarakat?

Hampir di setiap dusun ada lokasi sawah. Namun sampai saat ini pengelolaannya belum maksimal sehingga menjadi komoditi unggulan masyarakat. Kedepannya dengan pemetaan potensi desa ini kita dapat gambaran berapa luasan sawah yang ada di masing-masing dusun, berapa masyarakat yang menggarap. Ketika ini sudah ada kita maksimalkan pengelolaannya karena dari bayangan kita dalam satu tahun itu ada dua hingga tiga kali panen. Dengan jumlah luas yang ada dan kalkulasi perhitungan hasil produksi desa bisa arahkan titik-titik mesin huller dimana untuk mendukung pertanian masyarakat termasuk sarana dan prasarana pendukung lainnya. Kita juga mengharapkan Bumdes menjadi pengelola huller yang kita arahkan ke masyarakat dengan mekanisme pengelolaan yang baik termasuk nantinya penampung hasil dari sawah masyarakat. Karena kenapa kita berpikir dikelola Bumdes, dari pengalaman yang ada mesin huller yang ada di beberapa titik ketika rusak tidak dapat diperbaiki masyarakat karena persoalan biaya. Maka kalau ini dikelola Bumdes, ketika rusak Bumdes dapat melakukan perbaikan dari biaya pengelolaan yang mereka lakukan di tengah masyarakat. Ketika hasil produk masyarakat meningkat Bumdes menangkap peluang ini dan menjadi pemasok dan penjual ke luar Sinaka. Dari pemetaan potensi ini kita berharap dapat gambaran dalam rangka menentukan komoditi unggulan desa. ini target kita sebenarnya. Ketika kita tahu potensi kita secara keseluruhan ini arahnya kemana, maka kita mengarahkan program kita itu ke sana. Kalau dari pemetaan potensi yang ada itu arahnya ke perkebunan kelapa dan lahannya mendukung maka kita arahkan program kita ke perkebunan kelapa. Selama ini kita hanya memakai data yang kita ambil dari beberapa orang dan beberapa sumber yang semuanya tidak satu rumusan. Misalnya dari PPL pertanian, potensinya ini dengan data sekian, namun data dari koordinator mereka yang kita ambil berbeda. Data BPS juga berbeda. Ini membuat kita bingung. Kita terbayang ke depan itu soal pasar misalnya sawah, dengan banyaknya beras yang akan bisa diproduksi masyarakat soal memasarkannya akan gampang karena kita sudah terbayang dan punya gambaran dengan adanya dukungan pelabuhan laut di Boriai. Misalnya kawasan pesisir bisa menjadi daerah pemasaran kita, daerah KM 37 menjadi daerah pemasaran kita. Kalau orang Bumdesnya serius dan melihat potensi ini, dia akan tangkap peluangnya. Bagi saya kalau pengelola Bumdes mengelola potensi yang ada sebaik mungkin dan semaksimal mungkin, kita di pemerintah desa siap anggarkan setiap tahunnya Rp100 juta untuk membantu mereka. Tentunya ketika penilaiannya bagus. Karena kita juga tidak mau mengambil risiko menggunakan uang negara tanpa hasil dan pertanggungjawaban yang jelas. Ini PR kita hingga 2024. Kita inginnya Desa Sinaka ini punya peta administrasi, peta potensi. Ketika ke depannya ada kepala desa yang lebih visioner dia tinggal melaksanakan programnya dengan merujuk pada peta dan potensi yang ada. Kalau kita tanya sekarang kepala dusun berapa panjang jalan antar dusun, jalan lingkar dusun, jalan pertanian dan sebagainya mereka bingung. Belum terpsah antara jalan antar dusun, jalan lingkungan dusun. Kalau kita tanya berapa hasil produksi pertanian di masing-masing dusun, perikanan, kepala dusun bingung.

Bagaimana dengan Bumdes yang diharapkan sebagai pendongkrak ekonomi masyarakat

Tahun lalu kita sudah menerima proposal mereka yang arah kegiatannya pengelolaan potensi laut dari nelayan-nelayan lokal. Dari laporan yang kita dapat mereka masih mencari mitra untuk menampung hasil tangkapan nelayan yang mereka beli di masyarakat. Namun sampai sekarang belum bergerak, transaksi di tengah masyarakat belum jalan. Padahal kalau kita lihat potensi perikanan ini bisa dibilang lebih besar dibandingkan dengan potensi pertanian yang ada. Kalau pertanian kita lihat dari Aban Baga hingga Kosai Bagat Sagai tapi untuk perikanan dari Boriai sampai Mabolak. Ini potensi yang luar biasa. Kita berharap Bumdes ini tidak lagi mencari pasaran perikanan ini di Sikakap tapi di luar Sikakap sehingga harga jual nantinya lebih tinggi dan daya beli di masyarakat akan lebih baik. Bagi kita dalam bisnis tidak ada masalah soal pembayarannya per tiga bulan, namun perjanjiannya harus jelas. Secara umum Desa Sinaka ini hidup dari potensi laut. Kalau mereka tidak ke laut untuk mencari udang, teripang, ikan maka masyarakat tidak punya uang. Kalau dari sisi perkebunannya seperti pinang, pisang dan tanaman lainnya dari 100 orang yang ada paling yang sudah menikmati karena menanam duluan hanya lima orang. Maka menjelang Natal ini masyarakat agak kesulitan soal ekonominya karena mereka tidak bisa leluasa melaut akibat dampak angin nelayan yang berhadapan langsung dengan wilayah perikanan Sinaka.

Bagaimana pendapatan ekonomi keluarga setiap bulannya?

Berdasarkan data BPS yang kita dapat rata-rata Rp600-700 ribu per bulan. Dan ini sangat kecil. Dan itu sangat fatal apabila ada anak mereka yang sekolah di Sikakap dan di luar Sikakap. Keluarga ini akan banting tulang untuk mendapatkan biaya anak. Maka kita menyarankan kepada orangtua untuk mengarahkan anaknya masuk asrama atau tempat yang hidup mereka lebih terjamin. Misalnya bagi yang beragama Katolik bila anak mereka mau sekolah di Sikakap dengan masuk Asrama Pastoran dengan biaya per bulan Rp150 ribu, mereka sudah tenang, tingal belajar dan makan. Dari pada tinggal di luar dengan biaya hidup yang lebih besar dan kenyamanan mereka belum tentu terjamin. Kita inginnya ADD itu banyak ke anggaran pemberdayaan tidak hanya ke fisik semua, makanya kita mau lihat potensi dan komoditi unggulan kita itu apa. Kalau anggaran yang kita terima setiap tahun itu lebih banyak pada pembangunan fisik kapan ekonomi masyarakat kita berdayakan. Kita membutuhkan pembangunan fisik tapi saat ini pemberdayaan sudah sangat penting karena fisik sudah mulai terakomodir, tinggal pemeliharaan dan pembangunan jembatan untuk menghubungkan badan jalan yang sudah ada. Kita malah menghubungi pengurus rumah ibadah untuk mendapatkan data atau masukan soal potensi ekonomi dan pertanian yang ada. Karena saya ingat dulu pada masa Orde Baru gereja itu punya kelompok dan lahan pertanian yang luas dan terkelola dengan baik. Kita ingin menghidupkan kembali jiwa kebersamaan dan kegotong-royongan dalam bertani karena untuk bertani dan berkebun yang luas itu tidak bisa dikelolah hanya dengan satu orang, namun dengan berkelompok akan lebih cepat dan produksinya akan lebih banyak. Nilai individualisme ini masih tinggal, mungkin karena masih dipengaruhi oleh nilai-nilai perusahaan kayu dulu. Matobat ini juga ada potensi manau, kalau ini digarap dengan baik dan ada kelompok pertaniannya maka desa siap membantu dan kita bisa minta Dinas Kehutanan untuk memfasilitasi. Dalam satu tahun ribuan manau yang dibawa keluar oleh pengumpul di sini. Di KM 40 itu sekarang ada perkebunan pala ada sekitar 40 hektar milik masyarakat Dusun Aban Baga. Ini juga potensi kalau dirawat, makanya kita meminta masyarakat untuk dibersihkan dan dirawat, misalnya untuk pembersihannya masyarakat butuh mesin rumput desa bisa bantu. Tapi memang serius mengelolah ini. Ada juga kebun pisang masyarakat. Sempat ini berhasil dan bumdes mengelolah ini dengan baik untuk menampung dan mencarikan pasar hasilkan akan luar biasa. Mungkin Bumdes akan kewalahan. Kita banyak melihat dan belajar dari desa lain dimana desa tidak bisa bergerak untuk membuat perkebunan percontohan karena lahan asset desa itu tidak ada.

5 tampilan0 komentar
bottom of page