top of page
  • Gambar penulisycmmentawai

Komisi 1 DPRD Sumbar Minta Aktivitas Koperasi Minyak Atsiri Mentawai Dihentikan Sementara


Ketua Komisi 1 DPRD Sumbar Syamsul Bahri (tengah) didampingi Wakil Ketua, Evi Yandri Rajo Budiman (kemeja kuning) dan Sekretaris Komisi 1, M. Nurnas (batik) saat memimpin dialog dengan Koalisi Penyelamat Hutan Masa Depan Mentawai. (Foto: Keke/Mentawaikita)

PADANG—Komisi 1 DPRD Sumatera Barat meminta Dinas Kehutanan Sumatera Barat untuk meminta Koperasi Minyak Atsiri Mentawai menghentikan aktivitasnya di lapangan dan masyarakat diminta ikut menciptakan situasi yang kondusif, menunggu penyelesaian konflik antara koperasi dengan warga pemilik lahan yang menolak koperasi.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi 1 DPRD Mentawai Syamsul Bahri saat audiensi dengan Koalisi Penyelamat Hutan Masa Depan Mentawai dan Dinas Kehutanan Sumbar di DPRD Sumbar, Jumat (07/01/2021).


Lebih lanjut Sekretaris Komisi 1 DPRD Sumbar M. Nurnas mengatakan pihaknya akan mengagendakan rapat dengar pendapat pada 13 Januari mendatang bersama Gubernur Sumbar, kepala dinas kehutanan dan koalisi termasuk biro hukum.


Nurnas menekankan agar pada pertemuan itu dihadiri langsung kepala dinas dan tidak diwakilkan pada kabag atau kasi agar persoalan bisa diselesaikan dan tidak berlarut-larut. “Kita tak mau ada ada perpecahan di Mentawai, jika tak diselesaikan maka ini bisa berlarut-larut dan menjadi panjang, Mentawai bagian dari Sumbar, harus kita jaga persatuan dan kesatuan masyarakatnya,” kata Nurnas dalam pertemuan.


Wakil Ketua Komisi 1 Evi Yandri Rajo Budiman juga menyatakan hal sama, meminta agar izin pemanfaatan kayu (PKKNK) dianulir atau dinonaktifkan sampai lahan masyarakat yang menolak dikeluarkan dari lokasi izin PKKNK.


Konflik antara warga Silabu dengan Koperasi Minyak Atsiri Mentawai bermula pada pertemuan 9 Juli 2021 di Kantor Desa Silabu. Diceritakan Riswan Amdensi Sakerebau (26), warga Silabu yang lahannya masuk izin PKKNK dalam pertemuan, saat itu perwakilan koperasi membacakan nama-nama masyarakat yang sudah menyerahkan lahannya kepada koperasi termasuk nama orang tua Riswan, Waris Sakerebau. Dia dan bapaknya terkejut karena tak pernah menyerahkan lahan kepada koperasi.


“Bapak memang anggota koperasi karena dulu diiming-iming untuk diberikan bibit sereh, bapak bahkan sudah membuat lubang untuk menanam bibit sebanyak 500 namun sampai saat ini bibit tak pernah dibagikan, saat itu bapak sempat menyerahkan foto kopi KTP untuk menjadi anggota koperasi namun tak pernah menandatangani surat penyerahan lahan,” katanya saat pertemuan.


Pertemuan hari itu menurut Riswan berlangsung ricuh dan tidak ada solusi sehingga pada 12 Juli, 116 warga mengirimkan surat penolakan lahannya masuk areal operasi koperasi. Namun surat tak direspon sampai akhirnya September alat berat alat berat koperasi masuk ke Silabu dan melakukan aktifitas penebangan sebulan kemudian.


Karena tidak ada respon koperasi, warga kembali membuat surat penolakan pada 1 November yang ditembuskan ke Dinas Kehutanan Sumbar, yang ditandatangani 150 warga. “Dasar penolakan kami, tidak mau hak atas tanah kami dirampas koperasi, kami tak mau ada ricuh dan konflik diantara kami karena di Silabu kami saling bersaudara, saat ini kami masih menahan diri,” kata Riswan.


Dia menambahkan, masyarakat bersama koalisi sudah melakukan berbagai upaya, diantaranya mengadu ke DPRD Mentawai, berdialog dengan Dinas Kehutanan Mentawai dan melapor ke Komnas HAM Sumbar. Dia berharap, PKKNK dihentikan dulu dan persoalan ini bisa menemui titik terang dan selesai.


“Kekuatiran terbesar kami, akan kehilangan tanah dan kehidupan kami di tanah itu sendiri, di dalam areal PKKNK 1500 hektar itu, tanah kami sudah bersertifikat,” katanya.


Sementara Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai, dalam pertemuan mengatakan, izin PKKNK berada di Areal Penggunaan Lainnya (APL) bukan dalam kawasan hutan, berarti dalam hal ini Koperasi Minyak Atsiri Mentawai harus mengantongi hak atas tanah dengan melepaskan hak pihak ketiga atas tanah tersebut, dengan cara ganti rugi, atau jual beli atau penyerahan tanah di hadapan BPN dan realisasinya harus dilaporkan ke bupati tiap tiga bulan. Di akhir masa izin lokasi berlaku harus disampaikan realisasi izin atau penyerahan lahan yang berhasil didapatkan agar izin usaha perkebunan dapat diurus misalnya HGU.

“Itu harus dilakukan namun kami sudah menanyakan ke masyarakat apakah sudah ada yang menyerahkan tanah ke koperasi, ternyata ada yang belum menyerahkan,” katanya.


Selain itu Rifai juga menyorot soal surat pernyataan bebas konflik dari koperasi sebagai syarat penerbitan persetujuan PKKNK oleh Dinas Kehutanan Sumbar.


“Kita tak tahu SOP di Dishut untuk proses terbitnya PKKNK, apakah ada dilakukan verifikasi lapangan apakah betul lahan bebas konflik, apakah hak tanah sudah dilepaskan dari pihak ketiga, sepanjang itu belum dilakukan pasti ada konflik di sana. Dan kita meyakini Dishut tidak verifikasi lalu terbit PKKNK. PKKNK bukan hak untuk memasuki tanah orang lain, karena itu siapapun yang mengantongi PKKNK belum boleh menebangi kayu di tanah yang belum dibebaskan koperasi. Faktanya koperasi sudah melakukan itu. Dalam konteks ini, kita melihat PKKNK sudah dijadikan alasan untuk memasuki tanah yang bukan haknya untuk mengambil kayu di atas tanah orang lain yang bukan haknya,” katanya.


Karena itu Koalisi, jelas Rifai, meminta Komisi 1 membantu menjernihkan masalah ini dan meminta PKKNK dinonaktifkan. “Kami juga berharap Bupati juga bisa mengevaluasi ketepatan izin-izin yang dikeluarkan di atas tanah-tanah yang belum ada hak atas tanahnya sebab dalam aturannya perkebunan di atas 25 hektar harus dilakukan badan usaha dan dilakukan setelah memiliki hak atas tanah,” katanya.


Sementara Ketua Forum Mahasiswa Mentawai Sumatera Barat, Hieronimus Zebua berharap konflik tidak membesar, harus diantisipasi konflik yang akan terjadi. “Hutan bagi kami masyarakat Mentawai sumber kehidupan dan masa depan, kami berharap izin yang diberikan tidak menyalahi aturan dan merampas hak atas tanah,” katanya.

8 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page