top of page
  • Gambar penulisycmmentawai

Masa Depan Primata Endemik Mentawai di Pulau Sipora di Ujung Tanduk


Simakobu (Simias concolor) (Foto: Mateus Sakaliou)


Pemberian hak akses untuk luas penebangan yang dibatasi tiap 50 hektar membuat kegiatan penebangan itu bisa dilakukan tanpa harus membuat analisa dampak lingkungan.

SIPORA-Di atas pohon tumung, bayangan hitam seekor bilou sedang bersembunyi di balik kerapatan daun. Lengannya yang panjang memeluk dahan. Sedangkan matanya yang hitam mengawasi kami yang berada di bawahnya, di jalan tanah merah yang liat bekas hutan yang baru dibuka.

Siamang kerdil, salah satu primata endemik di Kepulauan Mentawai itu, ramping dengan bulu hitam yang berkilat.

Bilou terkenal karena kemerduan suara pekikannya setiap pagi. Pekikan yang tinggi dan merdu itu dijuluki irama paling indah yang dikeluarkan oleh jenis mamalia.

Bilou juga dianggap jenis ungko yang paling primitif karena pekikannya yang sederhana yang diduga menyerupai pekik nenek moyang ungko. Namun pagi itu bilou tersebut tidak bersuara.

Menyadari kehadiran kami yang masih mengawasinya, Bilou muda itu berayun ke pohon lain. Bayangannya berkelebat hingga tak terlihat. Ia satu-satunya primata yang terlihat menghuni hutan hari itu.

“Mungkin bilou itu yang tersisa di hutan ini, tidak bisa melarikan diri karena pohon-pohon untuk jalannya sudah jarang, banyak ditebang,” kata Mateus Sakaliou, pegiat konservasi di “Malinggai Uma” yang memandu kami.


Alat berat sedang menyusun balok kayu yang sudah ditebang di lokasi primata. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)


Mateus terlihat sedih. Pandangan matanya suram menatap tumpukan pohon kruing dan meranti besar yang baru ditebang tak jauh dari tempat kami berdiri.

Meranti adalah pohon penting bagi bilou. Kanopi paling atasnya, di tajuk pohon yang rimbun, menjadi tempat primata itu untuk tidur dan berlindung.

Sehari sebelumnya, kami dibawa Mateus ke hutan Berkat di Pulau Sipora bagian utara, sekitar satu setengah jam perjalanan dengan perahu mesin tempel dari Tuapeijat, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai. Mateus memiliki tempat pengamatan primata dan burung di hutan Berkat.

Baginya, tempat itu surga tersembunyi empat habitat primata Mentawai di Pulau Sipora. Keempat primata endemik Mentawai ada di situ, yaitu bokkoi (Macaca pagensis), joja pagai (Presbytis potenziani), bilou (Hylobates klossii), dan simakobu (Simias concolor). Di tempat itu keempat primata mudah diamati.

“Bahkan dari dalam tenda di tepi pantai, kita bisa melihatnya tanpa hewan itu terganggu,” kata Mateus di atas perahu mesin tempel menuju hutan Berkat.

Saat perahu kami mendarat di Pantai Pukarayat, ternyata sepanjang pantai di teluk itu sudah menjadi lokasi logpond, tempat penumpukan kayu. Ratusan kayu gelondong berukuran besar menumpuk di pantai.


Log kayu sedang dimuat dalam kapal di pantai Berkat. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)


Sebuah kapal ponton yang sarat muatan kayu di dermaga sedang karam, karena kelebihan muatan. Di atas ponton itu menggunung tumpukan kayu gelondong sekitar lima ribu kubik. Beberapa buruh kayu merentangkan tali yang terikat pada kapal dan disambungkan pada traktor yang menarik kapal itu agar tidak karam.

Kami meneruskan perjalanan ke hutan Berkat, sekitar 500 meter dari pantai. Letaknya di atas ketinggian punggung bukit. Tetapi kami mendapati hutan untuk tempat mengamati primata itu sudah dibuka. Pohon-pohon habitat penting bagi primata Mentawai di hutan itu sudah ditebang. Sedangkan pohon-pohon yang masih tegak sudah ditandai dengan kertas merah menunggu giliran ditebang.

Dari jalan utama ada beberapa jalan logging yang sudah merambah jauh ke dalam hutan. Jalan itu sekaligus untuk tempat menumpuk pohon yang baru ditebang.

“Habitat primata ini sudah digusur lagi, entah ke mana mereka pergi, pasti mereka sangat terganggu oleh suara alat berat,” kata Mateus dengan wajah murung.

Berita Terkait:


Ia mengkhawatirkan semua primata yang pernah dilihatnya tinggal di hutan itu tahun lalu. “Bilou, simakobu, dan joja kebanyakan tinggal di atas pohon, hanya bokoi yang bisa turun ke tanah, primata ini akan sangat terancam dengan penebangan hutan ini,” ujarnya.

Di ujung jalan masuk hutan, sebuah alat berat berwarna oranye sedang bekerja. Alat itu menumpuk kayu gelondong yang baru dikeluarkan dari dalam hutan. Suara gergaji mesin yang memotong pohon juga terdengar meraung-raung dari dalam hutan. Sore menjelang malam baru aktifitas di dalam hutan itu berhenti.

Kami bermalam di sebuah pondok kayu yang kosong di tepi jalan di tengah hutan yang baru dibuka itu.

Burung hantu mentawai (Otus mentawi) (Foto: Mateus Sakaliou)

Malam harinya, di depan langit yang berbintang, masih ada satwa hutan Pulau Sipora yang bisa diamati. Ada seekor burung hantu mentawai (Otus mentawi) yang hinggap di atas pohon di seberang jalan.

Hanya terlihat sekilas saja di atas pohon, lalu burung itu terbang tanpa suara. Burung itu satu-satunya burung endemik di Kepulauan Mentawai.

Masih ada satwa lainnya yang teramati malam itu. Di atas pohon sengon di depan pondok, seekor Tupai terbang (Iomy sipora) sedang duduk memakan daun sengon. Beberapa daun jatuh ke tanah, membuat Mateus sadar di atas pohon itu sedang ada satwa.

Tupai terbang itu juga endemik Mentawai. Kami mengamatinya dengan sinar senter dan tupai itu tetap bertengger di dahan yang paling tinggi.

Tupai terbang (Foto: Mateus Sakaliou)


Endemik Karena Terpisah

Kepulauan Mentawai memiliki sejarah geologis yang unik. Laporan penelitian WWF (World Wildlife Fund) pada 1980 berjudul “Saving Siberut: A Conservation Master Plan” menyebutkan, selama masa Pleistocen, kira-kira satu juta sampai 10.000 tahun yang lalu, pada Zaman Es ketika permukaan laut di daerah Asia Tenggara 200 meter lebih rendah daripada yang diketahui sekarang, Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Benua Asia saling terhubung.

Hal ini menyebabkan adanya pertukaran bebas aneka jenis binatang yang menyebabkan persamaan umum fauna di antara ketiga pulau besar tersebut. Namun Kepulauan Mentawai, karena dipisahkan oleh selat yang lebih dalam, tetap tinggal terpisah dari daratan sekurang-kurangnya sejak masa Pleistocen Tengah.

Hal itu membuat Kepulauan Mentawai menjadi pulau-pulau asli yang diperkirakan semenjak 500 ribu tahun yang lalu serta membuat fauna dan floranya terpelihara dari perubahan-perubahan evolusi dinamis, seperti yang terjadi pada daerah di bagian Paparan Sunda lainnya.

Yang paling menarik dari fauna Mentawai sebanyak 65 persen mamalianya adalah endemik. Di antaranya empat primata, yaitu Joja, Bokoi, Simakobu, dan Bilou.

Peneliti primata Arif Setiawan dari Swara Owa mengatakan, dalam perkembangan terbaru, ahli taksonomi primata ini telah memisahkan joja di Pulau Pagai dengan joja di Pulau Siberut, karena perbedaan spesies. Begitu juga bokoi di Siberut berbeda spesiesnya dengan bokoi di Pulau Pagai.

Joja pagai (Presbytis potenziani) (Foto Mateus Sakaliou)

Karena perbedaan itu masing-masing dinamakan bokkoi pagai (Macaca pagensis) dan bokkoi siberut (Macaca siberu). Hal yang sama juga untuk joja, yaitu joja siberut (Presbytis siberu) dan joja pagai (Presbytis potenziani).

Sedangkan jenis primata di Pulau Sipora sama dengan primata yang ada di Pulau Pagai, karena itu memakai nama yang ada di Pagai.

Ciri morfologi juga membedakan kedua jenis ini. Macaca siberu memiliki ekor yang menggulung di ujung, sedangkan Macaca pagensis ekornya lurus.

Joja di Siberut dan Pagai juga memiliki ciri morfologi berbeda. Joja yang ada di Siberut cenderung gelap di bagian depan tubuhnya, sedangkan Joja di Pulau Sipora dan Pagai mempunyai warna keemasan di bagian dada.

Menurut Arif ancaman kepunahan primata Mentawai di luar kawasan Taman Nasional Siberut sangat tinggi, seperti di Pulau Sipora, karena belum adanya regulasi yang melindungi primata-primata tersebut.

Rumah Primata yang Sedang Ditebang

Esoknya, pagi sekali kami berharap menemukan primata di hutan Berkat. Kami menyusuri jalan setapak menuju hutan yang tak jauh dari pantai. Jalan itu sudah ditutupi sulur tanaman.

(Dari kiri) Salomo dan Mateus Sakaliou sedang memantau bunyi Simakobu (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)

Menyadari kehadiran manusia yang sangat dekat, simakobu itu melompat dan berayun dari kanopi pohon meranti ke pohon di sebelahnya. Ia terus berayun dengan cepat berpindah ke pohon lainnya.

Di bawah, Gerson dan Mateus berlari mengikutinya. Mereka menuruni jurang dan menerabas perdu hutan yang rapat. Tapi simakobu itu sudah bersembunyi di dahan pohon meranti yang tinggi dan hampir tak terlihat.

Tak jauh dari situ, aktivitas logpond di pantai terus berlangsung. Kapal ponton yang kemarin penuh muatan kayu terlihat siap berangkat membawa ribuan kubik kayu gelondong ke luar Mentawai. Satu kapal ponton lainnya yang kosong sudah bersandar di dermaga untuk menunggu muatan.

Seluruh pohon di kawasan hutan Berkat yang kami jelajahi sudah ditandai kertas merah yang ditempel di batangnya tanda siap tebang. Pemiliknya sudah mendapat hak akses hutan dari Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah 3 Pekanbaru.

Aturan dari pemerintah saat ini yang memudahkan pengurusan penebangan hutan di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) membuat banyak masyarakat Mentawai di beberapa lokasi di Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan dalam setahun terakhir mengajukan hak akses SIPUHH ke BPHP Wilayah 3 Pekanbaru.

Kapal pengangkut balok kayu sedang berlabuh di logpon Berkat. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)


Pemberian hak akses untuk luas penebangan yang dibatasi tiap 50 hektare membuat kegiatan penebangan itu bisa dilakukan tanpa harus membuat analisa dampak lingkungan.

Jika ini terus berlangsung, dipastikan dalam waktu tak terlalu lama hutan yang merupakan habitat primata endemik Mentawai di hutan Berkat akan hilang, karena pohon-pohon kecil juga akan ditebang untuk kebutuhan kayu lokal.

“Tidak ada harapan primata itu untuk tinggal di sini lagi,” kata Mateus semakin murung. Kami meninggalkan hutan Berkat dengan kemurungan yang sama, mengkhawatirkan masa depan primata endemik Mentawai yang makin suram.

44 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page