top of page
Gambar penulisycmmentawai

Hutan Apotek Orang Mentawai yang Hancur Akibat Eksploitasi


Gustaf Taikatubutoinan memetik tanaman obat. (Foto : Gerson MentawaiKita)


Sembari berdoa dalam hati Gustaf Taikatubutoinan memetik kuncup bunga gandasuli yang berada di samping rumahnya di Desa Goiso’oinan, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pria berusia 64 tahun ini sedang mengumpulkan ramuan dari tumbuhan untuk obat sakit kepala. Jumlah kuncup bunga gandasuli yang dipetiknya terdiri dua bagian dan masing-masing bagian itu terdiri dari sembilan kuncup ditambah satu bunga bunga gandasuli lengkap dengan tangkainya.

Setelah memetik bunga tersebut, ia kemudian mencampurnya dengan kencur dan kemudian ramuan tersebut dihaluskan menggunakan gigiok (alat menghaluskan benda khas Mentawai yang terbuat dari pelepah enau). Aroma wangi menyegarkan langsung tercium ketika bahan-bahan obat-obatan tersebut dihaluskan.

Kemudian ramuan yang telah halus itu ditetesi dengan minyak kelapa. Sambil mencampur ramuan tersebut tak lupa Gustaf berdoa dalam hati agar ramuan tersebut memberi khasiat penyembuh.

Setelah itu ramuan tersebut diperasnya di atas kepala, selanjutnya kepalanya diurut berulang-ulang dari bawah menuju ke atas.

Gustaf merupakan ahli obat yang cukup populer di desanya dan wilayah sekitarnya. Menurut pengakuannya, kemampuan meramu obat untuk orang-orang sakit yang meminta pertolongan kepadanya didapat dari wangsit mimpi. Lewat petunjuk mimpi itulah kemudian dia meramu obat.

“Itu bukan kemampuan saya sendiri tapi ada yang memberi petunjuk melalui mimpi, seseorang yang datang ke dalam mimpi saya memberitahukan kepada saya apa obat untuk sakit si pasien, bagaimana cara mengambil obat dan cara penggunaannya,” kata Gustaf pada 28 Juni 2022 di Goiso’oinan.

Meski dia seorang ahli obat di kampungnya ia menolak dipanggil sikerei (tabib tradisional Mentawai yang dapat berkomunikasi dengan dunia roh). Ia juga tidak mau menjadi sikerei meski kakaknya ada yang menjadi sikerei.

Walaupun Gustaf ahli dalam meramu obat namun semua khasiat obat diserahkan kepada kuasa Tuhan. Sehingga untuk memetik obat dia selalu berdoa dalam hati menurut kepercayaan yang dia anut. Ia juga tidak meremehkan peran dari layanan kesehatan yang dibangun di kampungnya seperti Puskesmas. Sebab tidak semua obat dapat ditangani oleh medis. Penyakit seperti terkena bajou atau kisei (gangguan makhluk halus) butuh pengobatan secara tradisional. Peran inilah yang banyak ditangani oleh Gustaf.

Sebagai orang yang mengandalkan ramuan dari hutan, Gustaf sangat keberatan jika hutan-hutan di kampungnya dieksploitasi. Menurut dia, beberapa tanaman obat tidak dapat dibudidayakan di pekarangan rumahnya, tumbuhan itu hanya tumbuh saat berada di habitat aslinya yakni hutan.

Hutan bagi Gustaf merupakan apotek sehingga kehilangan hutan merupakan kehilangan sumber obat untuk menolong orang banyak.

“Saya kewalahan mencari bahan obat karena beberapa jenis tanaman berada jauh di hutan, apalagi sekarang sudah banyak hutan yang rusak karena ditebangi perusahaan dan juga akibat pembukaan perladangan masyarakat setempat, saya harus berjalan berjam-jam melewati bukit dan rawa ke daerah yang jauh karena di dekat kampung tidak ada lagi,” ujarnya.

Sekitar 20 tahun yang lalu, Gustaf masih mendapati tanaman obat di hutan sekitar kampungnya, namun sekarang kondisinya berbeda. Ia mengaku saat warga yang meminta pertolongan pengobatan datang darinya secara berturut membuatnya kewalahan sebab sumber obat sudah jauh. Ia berharap tidak ada lagi izin eksploitasi hutan di kampungnya.


Aman Boroi Ogok, Sikerei dari Siberut. (Foto: Gerson Merari/Mentawaikita.com)

Jauh di Pulau Siberut, Aman Boroi Ogok, salah seorang sikerei yang menetap di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan juga mengalami dilema yang sama. Banyak hutan sekarang yang sudah dikonversi menjadi perladangan dan pemukiman sebagian besar terancam kehadiran perusahaan kayu.

“Kami sikerei tidak memiliki apotek seperti di rumah sakit, sehingga untuk mengobati orang sakit dengan menggunakan dedaunan dan tumbuhan lain harus dipetik di hutan, sekarang banyak yang sudah menjadi ladang dan di tempat lain dimasuki perusahaan,” katanya pada Juli 2022.

Pria 62 tahun ini mengaku tak bisa berbuat banyak apalagi soal perusahaan kayu yang akan mengambil kayu di hutan mereka. Pengetahuan yang terbatas dan di sisi lain lawan yang seimbang membuatnya pasrah.

Meski begitu ia tetap menjalankan profesi menjadi sikerei sebagai orang yang penyembuh bagi orang sakit.

Berdasarkan data mentawaikita.com, usaha menyelamatkan pengetahuan tanaman obat tradisional Mentawai sebenarnya telah diterapkan di Mentawai dengan program kolaborasi antara dokter dengan menggunakan keahlian medis dan sikerei yang menggunakan obat tradisional dengan kekuatan supranatural untuk menangani masyarakat yang sakit. Rencana itu dicetuskan Bupati Kabupaten Mentawai yang saat itu masih dijabat Yudas Sabaggalaet pada 2019 saat meresmikan Puskesmas Simatalu di Kecamatan Siberut Barat. Program itu kemudian dilansir pada 12 April 2019 saat peresmian Puskesmas Sarereiket di Kecamatan Siberut Selatan oleh Bupati.

Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai mengatakan eksploitasi hutan Mentawai sangat berdampak hilangnya tanaman obat tradisional Mentawai. Hal itu akan lebih terasa jika masyarakat Mentawai sangat tergantung proses pengobatan tersebut.

Ke depan masyarakat Mentawai akan sangat tergantung dari obat medis dari fasilitas kesehatan. “Pertanyaannya adalah apakah akses layanan kesehatan dan ketersediaan obat medis itu sudah menjangkau seluruh daerah di Mentawai,” kata Rifai pada 19 Agustus di Padang.

Menurut penilaian Yayasan Citra Mandiri Mentawai, lembaga yang aktif mengadvokasi hak-hak masyarakat adat Mentawai, laju kerusakan hutan di Mentawai lebih cepat ketimbang ketersediaan layanan kesehatan dan obat-obatan medis di kampung-kampung.

“Itu perlu dipikirkan sebab laju kerusakan hutan di Mentawai lebih cepat ketimbang ketersediaan layanan kesehatan,” katanya di Padang 19 Agusutus.



Kerusakan Hutan Mentawai

Kekhawatiran Gustaf bukan tanpa alasan, saat ini di Pulau Sipora terdapat beberapa aksi penebangan hutan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Kegiatan penebangan di sebagian hutan Berkat dilakukan oleh Aser Sababalat (70) sejak Januari 2022. Hutan seluas 243 hektare di Dusun Berkat berada di kawasan Arel Penggunaan Lain (APL). Untuk melakukan penebangan hutan alam di atas lahan tersebut, Aser sebagai pemegang kuasa hak atas tanah hanya perlu meminta hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) pada Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah 3 Pekanbaru. Harga jual kayu yang diterimanya hanya Rp70 ribu per kubik.

Tumpukan di logpon Berkat. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)

Mudahnya pengurusan penebangan hutan di kawasan APL membuat masyarakat Mentawai di beberapa lokasi, seperti Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pagai Selatan dalam setahun terakhir beramai-ramai mengajukan hak akses. Mereka mengajukan hak akses penebangan kepada BPHP Wilayah 3 Pekanbaru dengan dimodali investor.

Kepala Seksi Perencanaan BPHP Wilayah 3 Ruslan Hamid mengatakan saat ini BPHP Wilayah 3 telah memberikan tujuh hak akses SIPUHH di Pulau Sipora dan delapan PHAT (Pemegang Hak Atas Tanah) yang sedang mengajukan hak akses SIPUHH di Pulau Sipora, Pagai Selatan.

Ia mengatakan, areal hutan yang diajukan masyarakat dari sisi status tidak masuk ke dalam areal kawasan hutan negara karena tidak berkaitan dengan hutan produksi, hutan konservasi, maupun hutan lindung. Namun di areal itu ada hutan yang tumbuh alami.

“Kawasan APL itu bukan ranah kami, tetapi karena di atas tanah itu ada tegakan hutan yang tumbuh alami, maka diperlukan Hak Akses SIPUHH untuk pemilik lahan yang akan mengelola kayunya, agar hak-hak negara bisa dipungut dari situ. Di hutannya itu ada potensi yang harus dia bayar ke negara setiap menumbangkan kayu,” katanya.

Sementara di Siberut Selatan, kegusaran Aman Boroi Ogok bukan tanpa alasan, pada tahun 2021 masyarakat Mentawai khususnya di Pulau Siberut dikejutkan dengan beredarnya rencana perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau yang dulu dikenal dengan istilah HPH PT. Bumi Alam Sikerei.

Rencana konsesi perusahaan itu meliputi lima desa yakni Desa Madobak dan Matotonan di Siberut Selatan, Desa Katurei dan Taileleu di Siberut Barat Daya, dan Desa Saliguma di Siberut Tengah. Luas konsesi 44.907,21 hektar.

Selain itu sekelompok orang yang didukung perusahaan tersebut gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Meski ada beberapa kelompok masyarakat di Mentawai yang gencar melakukan penebangan hutan, tapi ada juga penolakan yang mereka lakukan.

Sikerei Siberut sedang meramu obat. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)

Dalam catatan Yayasan Citra Mandiri Mentawai, lembaga swadaya masyarakat yang aktif melakukan advokasi terkait hak-hak masyarakat adat Mentawai termasuk hutan yang terangkum di dalam buku berjudul “yang terus di garis lurus”, menyebutkan pada tahun 1971 di Pulau Sipora pernah beroperasi perusahaan kayu PT Bhara Union, pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 43.000 hektar.

Kehadiran perusahaan kayu ini ditentang masyarakat di Sipora karena mengklaim tanah adat milik mereka masuk dalam wilayah HPH. Puncak penolakan masyarakat terjadi pada tahun 1997 di Desa Bosua (Sipora), mereka menyandera Syarif Erijon, manajer lapangan Bhara Union. Pasca penyanderaan beberapa tokoh di Sipora diburu, ditangkap dan disiksa. Penolakan masyarakat tersebut berhasil dipatahkan oleh pihak perusahaan. Pada 2005 izin perusahaan itu tidak diperpanjang oleh Kementerian Kehutanan.

Terbaru perlawanan juga digalang mahasiswa Mentawai yang belajar di Padang sepanjang 2021 hingga 2022. Mereka melakukan aksi demontrasi ke kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Sumatera Barat untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap izin eksploitasi hutan yang diberikan oleh pemerintah.

Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai mengatakan ancaman eksploitasi hutan Mentawai akan selalu terjadi sepanjang pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin eksploitasi hutan tidak mau mendengar seruan masyarakat Mentawai.


Tugboat sedang memuat kayu dari hutan Berkat. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)

Di sisi lain, peluang untuk mempertahankan wilayah adat maupun hutan adatnya sudah diakomodir melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Keberadaan perda tersebut membuat posisi masyarakat adat Mentawai terhadap wilayah adatnya lebih kuat dengan asumsi mereka mengelola wilayah adatnya sesuai kearifan lokal yang dimiliki bukan eksploitatif.

“Namun persoalannya belum semua wilayah adat yang dimiliki masyarakat Mentawai ditetapkan oleh Bupati menjadi wilayah adat,” ujar Rifai.

Tulisan ini Diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fud – Pulitzer Center

114 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page