Masyarakat Mentawai sudah bertahun-tahun melawan eksploitasi hutan dan tanah adatnya oleh negara. Terakhir, izin HTI di Pulau Siberut dikeluarkan pemerintah pada tahun 2017. Masyarakat menilai pemerintah secara sepihak memberikan izin kepada perusahaan di atas tanah adat mereka.
Melki Sanenek terlihat sibuk saat ditemui sore itu, Minggu (27 Juni 2021). Pria berusia 60 tahun itu terlihat menyalai kelapa untuk dijadikan kopra tepat di samping rumahnya yang berada di Desa Saibi Samukop, Kecamatan Siberut Tengah, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.
Mengawali pembicaraan, Melki mengatakan kopra tersebut merupakan salah satu sumber ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kelapa yang dijadikan kopra itu sebagian berasal dari ladang sendiri dan sebagian dibeli dari warga sekitar dalam bentuk kelapa bulat."Harga kopra saat ini cukup bagus yakni Rp9 ribu perkilogram, ini sebagai sumber pendapatan masyarakat di sini," katanya.
Melki menyebutkan ladang kelapa dan cengkeh yang dimilikinya terancam habis jika PT. Biomass Andalan Energi (BAE) mulai melakukan land clearing.
Perusahaan ini mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) berdasarkan Surat Persetujuan Prinsip (RATTUSIP) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tanggal 2 Mei 2017.
Sisa lahan yang bisa dikelola masyarakat berdasarkan informasi yang diterima Melki hanya sejauh 5 kilometer yang diukur dari pantai.
Melki bersama suku lain sudah melayangkan surat penolakan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHI) yang dijabat oleh Siti Nurbaya dan Kepala BKPM, untuk mencabut atau membatalkan seluruh bentuk perizinan HTI.
Surat tersebut diserahkan perwakilan masyarakat Adat Mentawai kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono, di ruang pertemuan Sekjen di Gedung Manggala Wanabakti, Rabu, 25 Oktober 2017.
Surat penolakan suku atas izin HTI itu berasal dari 52 suku di kecamatan Siberut Tengah, Siberut Selatan dan Siberut Utara, diantaranya suku Sanenek, Sakailoat, Sirirui, Sabulukkungan dan Sauddeinuk. Sementara suku yang menerima HTI meski dilakukan perseorangan dan bukan keputusan suku yakni Sageileppak
Selain surat penolakan, mahasiswa Mentawai yang tinggal di Padang tergabung dalam Forum Mahasiswa Mentawai (FORMMA) Sumatera Barat aktif melakukan protes menuntut pencabutan izin di Mentawai namun pemerintah pusat bersikukuh melanjutkan izin HTI itu.
Pada 29 Desember 2018, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan izin HTI PT. BAE dengan luas konsesi 19.876,59 hektar untuk ditanami kaliandra (Calliandra calothyrsus).
Berdasarkan dokumen analisi dampak lingkungan PT. BAE yang diperoleh Mentawai Kita, kaliandra memiliki viabilitas hidup yang tinggi sehingga dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Produksi kaliandra cukup tinggi di daerah dengan ketinggian lebih dari 800 meter di atas permukaan laut (dpl). Pertumbuhan kaliandra akan cepat di daerah curah hujan yang berkisar 1000-4000 mililiter.
Namun pada beberapa kasus mereka menemukan bahwa Kaliandra juga mampu tumbuh dengan baik di dataran rendah dengan ketinggian 150 meter di atas mdpl., yang merupakan angka rata-rata rata-rata ketinggian tanah di Kepulauan Mentawai.150 meter mdpl. Sementara dari curah 2.500-4.500 mililiter per tahun
Kemudian keuntungan menanam Kaliandra untuk produksi kayu energi antara lain pemanenannya dengan cara memangkas cabang-cabangnya yang dapat dilakukan secara berulang sehingga tidak perlu menanam pohon baru setelah pemangkasan.
Tanah-tanah milik suku yang masuk areal konsesi meliputi Desa Saliguma, Desa Saibi Samukop dan Desa Cimpungan di Kecamatan Siberut Tengah serta Desa Sirilogui, Desa Bojakan dan Sotboyak di Kecamatan Siberut Utara.
Kegiatan HTI ini akan berdampak kepada 7.196 jiwa masyarakat yang tinggal di Kecamatan Siberut Tengah dan 9.597 jiwa di Kecamatan Siberut Utara berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2021.
Tanah milik suku Melki yang berada di Kaleak, Boblo, Sibokbongi dan Toroiji sekitar ratusan hektar tidak luput dari peta konsesi HTI. Menurutnya penunjukan wilayah adatnya dalam kawasan HTI belum mendapatkan persetujuan dari sukunya. Hingga saat ini, belum ada pihak yang dapat memberikan data akurat soal luas lahan empat kawasan tersebut.
"Cerita kepemilikan tanah kami jelas, dan hal itu disampaikan secara turun temurun. Kalau ada yang mengklaim bahwa kami suku Sanenek sudah menyerahkan tanah, itu hanya pernyataan sepihak,” tegas Melki Sanenek.
HTI yang memiliki izin pertama hingga 60 tahun dan dapat diperpanjang hingga 35 tahun membuat Melki khawatir sebab dirinya dan anak-anaknya nanti tidak dapat mengelola tanah miliknya.
Sebelum mendapat izin dari BKPM pada Mei 2017, PT.BAE telah mendapat izin pertama pada tanggal 11 Januari 2016. Namun izin kepada PT.BAE untuk mengelola hutan produktif di Pulau Siberut seluas 20.110 ha menjadi hutan tanaman Industri itu kemudian dibatalkan oleh BKPM karena PT.BAE tak mampu menyusun dan menyelesaikan dokumen analisis dampak lingkungan/UKL-UPL dan izin lingkungan sesuai batas waktu, yakni 150 hari kalender setelah terbit izin.
Mentawai Kita menghubungi Nikanor Saguruk, mantan wakil ketua DPRD Mentawai untuk mendapatkan klarifikasi tentang surat yang dilayangkan ke Sekjen KLHK. Nikanor mengatakan pihaknya tidak pernah menerima tembusan surat pengaduan dari masyarakat tersebut.
Suara perempuan? Jika di kalangan para pria perdebatan kehadiran HTI mulai memanas namun justru sebaliknya kaum perempuan terlihat tenang-tenang saja sebab keputusan penyerahan lahan tidak banyak melibatkan mereka.
“Kami jarang dilibatkan soal pembahasan penyerahan lahan, memang kami terkadang diundang namun tak bisa berpendapat apa-apa, paling kami hanya menyediakan makanan dan minuman jika musyawarah dalam suku dilakukan,” kata Marlianna Sageileppak, perempuan 53 tahun ini.
Terkadang Marlianna mengaku seakan tidak dianggap sebagai anggota keluarga sukunya sebab peralihan penguasaan tanah sukunya terjadi tanpa sepengetahuannya.
Menurut Keisa Saponduruk (45), ibu rumah tangga di Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara, keberadaan lahan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan keluarga karena lahan tempat untuk menanam tanaman muda dan tua yang menyokong kebutuhan keluarga dalam kehidupan sehari-hari dan masa depan keluarga.
"Kalau tidak ada lahan bagaimana kita bisa menanam keladi, pisang, ubi dan padi sawah untuk kebutuhan sehari-hari," katanya.
Desakan ekonomi
Murtias Sageleippak (60) merupakan warga Desa Saibi yang diangkat menjadi penghubung masyarakat (Humas) oleh PT. BAE.
“Jika tidak ada penyebaran Covid-19 ini maka mereka akan langsung beroperasi,” kata Murtias Sageileppak.
Murtias Sageileppak mengatakan sukunya punya lahan yang masuk HTI di Kaleak dengan luas 150 hektar. Jika di dalam tanah tersebut terdapat perkampungan dan tanaman masyarakat maka perusahaan akan mengeluarkannya dalam kawasan konsesi seluas pemukiman atau perladangan masyarakat, tidak seluruhnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa akan ada ladang masyarakat yang kena dampak karena letaknya tepat di jalur mobilitas perusahaan sehingga perlu diterobos. Namun ganti rugi tanaman itu telah diperhitungkan oleh pihak perusahaan.
Ia mengklaim ganti rugi tanaman telah bicarakan dengan pemerintah desa, kecamatan, dusun dan tokoh masyarakat yang ada di sana. Contoh cengkeh 1 batang yang bagus nilai Rp2 juta, kelapa yang telah berbuah Rp1,5 juta per batang yang telah berbuah dan bambu Rp500 ribu per rumpun.
Murtias beralasan menerima HTI karena desakan ekonomi sebab tidak ada usaha lain karena perusahaan berjanji memberi uang Rp20 juta ketika akan mengelola tiap 50 hektar tanah suku dikelola.
Jika suku Sageileppak memiliki tanah 150 hektar yang masuk kawasan HTI maka mereka akan mendapatkan uang Rp60 juta. Lantas bagaimana tanahnya yang kurang dari 50 hektar? Murtias mengatakan jumlah uang yang akan dibayarkan dikurangi. Pembayaran tanah itu hanya sekali bayar ketika akan digunakan oleh perusahaan HTI dan di luar ganti rugi tanaman.
Pada saat liputan ini diterbitkan, belum satu pun pembayaran kompensasi dilakukan PT BAE.
Kepala Desa Saibi, Binsar Saririkka mengatakan pembahasan soal HTI di Saibi belum mendetail. Ia mengaku belum tahu persis lokasi tanah yang akan diambil untuk dijadikan area konsesi HTI tersebut.
Ia menyebutkan PT.BAE hanya sebentar melakukan sosialisasi pada penghujung tahun 2018 di Saibi sehingga beberapa pertanyaan tidak terjawab karena waktu mereka sangat sedikit. Poin yang disampaikan saat itu berupa rencana mereka akan membuka areal HTI yakni titik lokasi tanah di Kalek yang dimulai setelah 5 kilometer dari pantai yang jadi sasaran penanaman kaliandra.
Rapat sosialisasi itu hanya diikuti beberapa individu yang mewakili diri sendiri, perangkat desa, dan PT. BAE.
“Kita belum pernah diskusi serius soal itu, tapi pada intinya jika masyarakat menerima ya kita terima saja, jika masyarakat menolak maka kita tolak bersama-sama,” katanya.
Meski satu suku dengan Murtias Sageileppak, Hasan Sageileppak (62), salah satu tetua dari Suku Sageileppak paling kuat protes terkait penguasaan tanah suku Sageileppak oleh PT. BAE.
“Di Suku kami tidak ada pembicaraan soal penyerahan tanah, setahu saya tidak ada pertemuan, tahu-tahu tanah kami di Kaleak sudah menjadi areal HTI,” katanya saat didatangi di lokasi perladangannya di daerah Kaleak, Saibi Samukop, Selasa, 29 Juni 2021.
Ia pernah menghadiri pertemuan di bulan Oktober 2019 yang dilakukan oleh PT.BAE di Desa Saibi Samukop bersama suku-suku lain di Saibi yang bertujuan membentuk kepala suku, namun tidak jelas fungsi dari pembentukan itu.
Tidak ada pembahasan soal posisi tanah dan perladangan masyarakat di pertemuan itu. Menurut Hasan ganti rugi yang dijanjikan perusahaan atas pengambilan lahan pertanian miliknya juga tidak berguna sebab hanya sekali bayar.
Tarida Hernawati, antropolog yang meneliti tentang kebudayaan Suku Mentawai mengatakan pemilihan kepala suku atau yang diistilahkan Sikebbukat Uma hanya dapat diangkat melalui musyawarah anggota suku, bukan pihak luar.
Selain itu kata Tarida, kepala suku yang telah diangkat tidak memiliki kewenangan mengatasnamakan keputusan sukunya untuk memutuskan suatu hal tanpa persetujuan seluruh anggota suku (uma).
“Kepala suku memiliki peran menjadi juru bicara atas keputusan musyawarah seluruh anggota suku, kalau ada pihak luar yang membentuk itu artinya menyalahi aturan adat,” kata Tarida Hernawati.
Di tempat terpisah, Wakil Bupati Kepulauan Mentawai, Kortanius Sabeleake menyebutkan sejak tahun 1970-an perusahaan kayu mengeksploitasi Mentawai, tidak ada kontribusi yang diterima Orang Mentawai. Hal tersebut sesuai publikasi yang ditulis dalam buku 20 tahun YCMM memperjuangkan Hak Masyarakat Adat yang berjudul, "yang terus di garis lurus".
“Kontribusi mereka membuat kerusuhan dan konflik antar masyarakat, kita diadu,” katanya.
Pemda Mentawai hanya mendapat pembagian Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi Rp2 miliar dari pemerintah pusat hasil eksploitasi hutan Mentawai. Pendapatan itu sangat timpang dibanding pendapatan asli daerah dari sektor pariwisata di Mentawai yang menyumbang Rp10 miliar setahun.
“Kita rugi, kayu kita habis, kita yang kena dampaknya banjir, dana Corporate Social Responsibility (CSR) pun tidak kita terima, bahkan laporannya tidak ada,” kata Korta.
Melki Sanenek tak sendiri, Absalom Sakailoat, salah satu tetua suku Sakailoat juga menolak HTI. Pria 70 tahun itu mengetahui kehadiran HTI di kampungnya namun tak mengerti apa tujuannya.
Absalom menyebutkan menguasai tanah sukunya tanpa izin merupakan tindakan yang tak bisa dibenarkan.
Direktur Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai, Rifai mengatakan pengakuan melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Perda PPUMA harus dimanfaatkan terutama oleh masyarakat agar kedudukan mereka selaku Masyarakat Adat sah sebagai subyek hukum.
Dengan demikian, lanjut Rifai sebagai subyek hukum mereka bisa menegakkan hak-hak adatnya ketika berhadapan dengan subjek hukum yang lain baik perusahaan maupun pemerintah.
“Ketika suku-suku pemilik tanah di lokasi HTI sudah memperoleh pengakuan, maka mereka bisa menolak HTI jika menurut mereka kehadiran HTI akan memberikan dampak negatif terhadap berbagai sektor kehidupan mereka. Tetapi jika menurut mereka kehadiran HTI bisa menjadi peluang bagi perbaikan berbagai aspek kehidupan mereka, mereka bisa menegosiasikan kepentingan mereka secara lebih kuat dengan pihak HTI dan pemerintah, berbasis pada hak-hak mereka yang harus dipenuhi oleh pihak lain yang ingin berhubungan dengan mereka selaku subyek hak dari hak-hak adat yang mereka miliki,” kata Rifai.
Perjuangan yang tidak asing bagi komunitas masyarakat adat. “Maka perlu saya tegaskan jika belum ada izin dari kami sebagai pemilik tanah maka tidak boleh mereka masuk. Tidak mudah menyelesaikan sengketa tanah di Mentawai, nenek moyang kami mati-matian mempertahankan tanah kami sejak dulu,” kata Absalom.
Liputan ini dihasilkan dengan dukungan oleh Internews’ Earth Journalism Network.
Comments