top of page

Tinungglu, Warisan Lumbung Pangan Mentawai

  • Gambar penulis: ycmmentawai
    ycmmentawai
  • 31 Okt
  • 7 menit membaca

Oleh: Patrisius Sanene

Derlina Taileleu (35), warga Desa Bosua, Sipora Selatan, Mentawai sedang memanen keladi di ladang bersama rekannya. Keladi menjadi salah satu pangan lokal yang dikonsumsi sebagai makanan pokok. (Foto: Patrisius Sanene/Mentawaikita.com)
Derlina Taileleu (35), warga Desa Bosua, Sipora Selatan, Mentawai sedang memanen keladi di ladang bersama rekannya. Keladi menjadi salah satu pangan lokal yang dikonsumsi sebagai makanan pokok. (Foto: Patrisius Sanene/Mentawaikita.com)

Setelah matahari tegak di atas kepala, Senia menurunkan Opa di dapur bambu. Dari anyaman rotan itu keluar pisang, keladi, dan singkong, hasil dari tanah yang diwariskan tiga generasi keluarganya.


Anai leui ita, Senia menyapa ramah berbahasa Mentawai yang berarti apa kabar, saya pun membalas sapaan yang sama diucapkannya sambil berjabat tangan. Wajah yang tampak masih berkeringat dan raut wajah kelelahan, Senia bergegas ke dapur mempersiapkan santap siang untuk keluarganya.


​Aktivitas berladang yang dilakukan Senia ternyata telah digelutinya sejak lama. Pekerjaan itu meneruskan warisan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.


​Senia memiliki dua hamparan perladangan yang dalam Bahasa Mentawai disebut tinungglu. Satu hamparan seluas 1 hektar terletak 1 kilometer dari rumahnya dan satu hamparan seluas setengah lapangan sepak bola hanya berjarak 400 meter.


Tinungglu itu berisi berbagai jenis tanaman pangan seperti sagu, keladi, pisang, sayuran, palawija, bambu dan buah-buahan seperti nenas, nangka, manggis, durian, mangga, rambutan, dan duku. Selain itu, isi tinungglu ditanami tanaman lain seperti cengkeh, kakao, kelapa, dan pinang.


​Dua hamparan ladang tersebut telah digarap sejak lama oleh keluarga Senia, bahkan lahan yang digunakan saat ini sudah digarap beberapa keturunan dari klan Samangilailai. 

“Bagi kami tinungglu sumber pangan keluarga, dapat memenuhi sebagian kebutuhan konsumsi sehari-hari,” ujar Senia pada Selasa (23/9/2025).


Karena itu, saat Covid-19 terjadi di tahun 2020 lalu, keluarga Senia tak terlalu terpengaruh di saat sebagian masyarakat di ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai ini bergantung pasokan pangan dari Kota Padang, ibu kota provinsi Sumatra Barat, di mana pembatasan gerak pendistribusian logistik ke Mentawai melalui jalur laut waktu itu. 


“Kami tak pernah lapar, kebutuhan makanan sudah tersedia dalam tinungglu,” katanya.

​Pengalaman tidak pernah lapar saat COVID-19 bukan kebetulan, melainkan buah dari kepatuhan pada warisan leluhur. Tinungglu telah terbukti menjamin keberlangsungan hidup, sebuah jaminan yang dilindungi oleh seperangkat nilai, tradisi, dan ritual yang dijaga ketat.

Pembukaan lahan pada tinungglu dilakukan dengan cara merambah menggunakan alat tradisional seperti parang, cangkul. dalam kepercayaan asli Mentawai arat sabulungan, membuka lahan tidak dibolehkan dengan cara membakar  ataupun menggunakan alat berat menggusur tanah, hal itu dilakukan agar pohon-pohon dan dedaunan di dalamnya berisi tanaman obat tetap lestari.


Flimar, anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai dari Desa Goisooinan, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai menjelaskan pembukaan tinungglu biasanya menggunakan alat sederhana seperti parang, cangkul, kapak. 


“Umumnya di Mentawai proses membuka lahan baru masih cara yang diwariskan nenek moyang, tidak pernah membabat langsung habis hutannya, kemudian harus ada cara minta izin pada leluhur, semua proses sama baik di Sipora, Siberut maupun Sikakap” kata Flimar, Kamis, (16/10/2025).


Orang Mentawai kata Flimar sangat menghormati tanah, atau hutan adatnya karena sumber kehidupan ada di hutan. “Kalau hutan diperlakukan dengan tidak baik, dirusak,  maka akan mendatangkan bencana dan dampaknya manusia yang kena,” ujarnya.


Ritual meminta izin saat membuka perladangan atau tinungglu dipimpin kepala klan atau disebut rimata kepada roh leluhur, upacara adatnya disebut panaki.


Rimata berkomunikasi dengan roh melalui media dedaunan, meminta kepada leluhur agar proses pembukaan lahan berjalan dengan lancar dan tidak ada kendala, dijauhkan dari kecelakaan penggunaan alat atau benda tajam.


​Lokasi tinungglu biasanya dipilih di lahan yang subur, tempatnya tidak terlalu curam dan dekat dengan sumber air. Setelah mendapatkan lokasi, baru dilakukan pembersihan semak belukar.


Karena itu tinungglu melampaui sekadar bercocok tanam. Tradisi orang Mentawai ketika mendapat hasil tinungglu tidak boleh dinikmati sendiri. Apa yang diperoleh harus dibagi kepada setiap orang dalam klannya. Hal ini menunjukkan bahwa pangan adalah simbol relasi antara manusia dan alam, serta antara sesama manusia.


​Filosofi arat sabulungan mengajarkan bahwa isulei lek buttet, makataiat bagkat—artinya daun layu pertanda akar telah rusak, sebagai gambaran kerusakan pada tanah (akar) akan menyebabkan kerusakan pada kehidupan (daun) secara keseluruhan. Dalam praktik sehari-hari, sistem pertanian lokal ini hidup dan bernafas melalui peran sentral yang digeluti kaum perempuan.


Meskipun pembukaan lahan dilakukan laki-laki mulai dari merambah dan membersihkan, perempuan bertugas mencari bibit tanaman pangan untuk ditanami, menanam dan merawatnya hingga menghasilkan buah. 


​Derlina Taileleu (35), warga Desa Bosua Kecamatan Sipora Selatan sehari-hari beraktivitas menanam keladi dan pisang. Ia kini tergabung dalam kelompok perempuan menanam tanaman pangan lokal yang didampingi Yayasan Sheep, NGO yang  bekerja di Mentawai.

​Sistem penanaman yang selama ini ia ketahui dan dilakukannya sebagai orang Mentawai tidak jauh dari metode yang dipelajarinya dari NGO yang mendampingi, hanya sedikit berbeda pada perawatan tanaman berkala dan persiapan pembuatan pupuk kompos agar hasil lebih baik.


​Aktivitas berladang ini telah ia geluti sejak lama, sebagai warisan dari leluhurnya agar dapat bertahan hidup dalam kondisi krisis pangan. “Kalau tidak ada tinungglu kami tidak akan hidup,” katanya.


​Derlina tidak pernah khawatir kekurangan makanan, pasokan makanan sudah tersedia di ladang. “Tinggal kami panen, tinungglu bagi kami ibarat minimarket yang isinya pangan lokal Mentawai,” ujar Derlina.


​Tak hanya Derlina, bagi Martalina Taikatubut Oinan (52), seorang perempuan adat Desa Saureinu, Sipora Selatan, tinungglu bukan saja hal wajib bagi orang Mentawai, tapi menjamin keberlanjutan ketangguhan pangan terutama dalam lingkungan keluarga. 


Ia melibatkan anak-anaknya untuk mengelola tinungglu agar mereka tidak kelaparan di saat situasi sulit, karena tanah yang dimiliki harus dimanfaatkan untuk keberlanjutan hidup.

​Martalina mengulang pepatah tua Mentawai, masua rere masua lolokkat — siapa yang bekerja keras, dialah yang makan. Ia tertawa kecil sambil menepuk tanah di kakinya. “Tanah ini yang memberi makan kami sejak leluhur,” ucapnya tegas.


​Peran perempuan Mentawai dalam menjaga tinungglu memastikan bahwa sumber makanan keluarga tidak pernah kering. Namun, kekuatan dan resiliensi sistem pangan lokal ini kini dihadapkan pada modernisasi dan ketergantungan pada pasokan luar yang tidak hanya rentan terhadap bencana, tetapi juga mahal.

***

Ikbal Herdiansyah, Area Manager Sustainable Self Reliance Local Food Yayasan Sheep Indonesia untuk wilayah Sipora, menjelaskan bahwa Mentawai memiliki potensi pangan lokal yang melimpah, dan ketangguhan pangan lokal masyarakat Mentawai yang sangat kuat.


​“Belajar pada 2010 kejadian tsunami, melihat peristiwa itu satu hal penting yang perlu dipersiapkan selain pada sektor kesiapsiagaan masyarakat pada bencana, bagaimana penguatan pada pangannya, karena ketika terjadi bencana akses terputus kemudian bantuan dari luar tidak segera masuk termasuk logistik itu kebutuhan pangan adalah kebutuhan dasar masyarakat,” ujar Ikbal.


​Ikbal menilai, Mentawai, sebagai daerah kepulauan dengan akses utama melalui jalur laut, adalah daerah risiko bencana tinggi. Pengembangan pangan lokal dapat mengurangi ketergantungan pangan dari luar karena pangan lokal sudah ada turun temurun, seperti sagu, kelapa, pisang, yang cocok tumbuh dan dikonsumsi di Mentawai.


​Namun, di pusat ibukota kabupaten, masyarakat masih tergantung terhadap beras yang didatangkan dari Padang. Sekira 40-50 ton beras masuk ke Mentawai setiap kapal, yang berlayar dua kali seminggu. Selain beras, sayuran dan buah-buahan masih didatangkan dari Padang melalui para pedagang.


​Harga jual di Mentawai menjadi sangat mahal dibanding di Padang. Misalnya, 1 karung beras 10 kilogram dihargai Rp140 ribu hingga Rp160 ribu di Kota Padang, namun ketika tiba di Mentawai harga jual berkisar Rp180 ribu hingga Rp195 ribu. Begitu juga dengan harga sayuran dan buah-buahan, kenaikan harga bisa mencapai Rp40 ribu hingga Rp50 ribu.

​Pergeseran pola konsumsi dari pangan lokal ke beras dan produk instan disebabkan kemudahan akses, kurangnya inovasi pengolahan pangan lokal yang bervariasi, dan perubahan budaya akibat penduduk di ibukota yang sudah majemuk dan berasal dari berbagai daerah luar Mentawai.


Karena itu Yayasan Sheep kini tengah berupaya untuk memperkuat ketahanan pangan masyarakat melalui tinungglu. Ada kelompok tani dampingan di lima desa yang mengembangkan penanaman keladi dan pisang sebagai makanan pokok.


​Semiarti Saogo (40), seorang ASN di Pemda Mentawai yang tinggal di Desa Tuapeijat Ibu Kabupaten Kepulauan Mentawai sejak 2001, mengakui beras menjadi konsumsi utama keluarganya, namun pangan lokal tetap disediakan. “Anak-anak saya lebih sering makan nasi, namun pangan lokal tetap saya sediakan, kami sudah terbiasa dengan makanan yang sudah diwariskan leluhur kami,” ujarnya.


​Bahkan jika pulang kampung, anak-anak Semiarti selalu mencari sagu kapurut’, makanan khas Mentawai. “Kalau sudah ada sagu kapurut, nasi yang ada disediakan tidak akan habis dimakan, bahkan tidak disentuh karena sudah ada sagu, keladi, pisang,” ujarnya.


Namun ketergantungan terhadap beras menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Ironisnya, alih-alih memanfaatkan sistem tinungglu yang sudah teruji, kebijakan pemerintah justru sempat mencoba 'mendekatkan' Mentawai pada budaya pangan luar, yang berakhir pada kegagalan besar dan pergeseran sosial.


​Pada 2011-2015 Pemda Mentawai menggencarkan program cetak sawah seluas 1.000 hektar. Program yang digagas di masa Bupati Yudas Sabaggalet ini mulanya ingin menghentikan ketergantungan pasokan pangan dari luar, terutama setelah biaya pendistribusian raskin dari Bulog Sumbar mencapai Rp 2,5 miliar, yang dianggap tidak sebanding dengan kuota raskin yang diterima.


​Ide cetak sawah tersebut ingin mandiri memproduksi beras di Mentawai. Pemda Mentawai mengucurkan anggaran cetak sawah pada APBD senilai Rp290 juta pada 2014, dengan target pada 2016 Mentawai sudah swasembada pangan (beras). Namun, capaian dari program cetak sawah tersebut hanya berkisar 300-400 hektare.


Elpideus Sababalat (45), salah  seorang  petani di Dusun Pogari, Desa Goisooinan pernah tergabung dalam kelompok tani sawah berjumlah sembilan orang, digagas Pemda Mentawai melalui Dinas Ketahanan Pangan, Peternakan dan Pertanian, pada 2014. Kelompok tani ini menggarap sekitar setengah hektar lahan untuk penanaman padi. 


Peralatan seperti parang, cangkul dan jenis alat pertanian lainnya difasilitasi langsung oleh pemerintah. kurang lebih tiga minggu mereka membersihkan lahan dan membuat kembali petak-petak sawah. Sistem pengairan pada waktu itu mengandalkan saluran irigasi dan tadah hujan jika debit air berkurang.


Lahan yang digarap pada waktu adalah bekas pertanian sawah yang sudah lama terbengkalai. Awal penanaman padi kelompok tani sawah Elpideus bersama rekannya menanam benih padi jenis padi IR 64, jenis benih padi yang dinilai cocok dengan kondisi tanah dan iklim di Mentawai dan menghasilkan panen sekira 2 ton sekali tanam. 


“Awalnya panen padi cukup banyak hasilnya, kemudian kembali kami tanam pada panen ketiga dan selanjutnya, hasil sudah mulai menurun, akhirnya karena produksinya menurun sebagian rekan satu kelompok mulai tidak aktif,” ujar Elpideus pada Kamis, (16/10/2025).


Anggota kelompok yang lain kata mulai beralih ke ladang masing-masing yang sudah sempat ditinggalkan karena bergabung kelompok tani sawah, mulai kembali membersihkan ladang mereka yang sudah bersemak. 


“Kami tidak tidak terbiasa bersawah, kami disuruh bersawah kami ikut, kadang kami tidak paham juga perawatannya, yang penting kami tanam dan bersihkan, tapi kalau berkebun tanam, pisang, keladi, kelapa, sagu itu sudah sejak dulu pekerjaan kami,” ujarnya.


Sawah yang penah digarap Elpideus bersama rekan satu  kelompoknya kini sudah tidak produktif lagi, sebagian sudah bersemak tak terurus. “Hanya sebagian saja yang bersawah bukan dari kelompok yang dibentuk program cetak sawah, semuanya hampir sudah kembali ke ladang,” ujarnya.


Tak hanya kelompok Elpideus, kelompok tani lain yang awalnya ikut program cetak sawah kemudian beralih menjadi nelayan, petani pangan lokal, atau petani komoditas lain setelah gagal.


​Cetak sawah yang dijalankan berulang kali menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat Mentawai. Semula, mengolah sagu merupakan tradisi bagi anggota keluarga untuk membangun kebersamaan. Kini, mengolah sagu atau membuka tinungglu dilakukan hanya keluarga inti saja tanpa ada bantuan pihak kerabat satu klan.


​Ladang sagu yang dulu berharga ditebang untuk program cetak sawah. ​Ladang bekas sawah tersebut, setelah tak lagi ditanami padi, kembali ditanami kelapa, pinang, dan komoditi lain yang memiliki nilai ekonomi. Sejak masyarakat Mentawai terbiasa mengkonsumsi beras, makanan tradisional dalam pesta adat, seperti keladi, pisang, dan sagu, di beberapa tempat seperti Sipora sudah jarang dihidangkan.


​Kegagalan program cetak sawah ini menjadi pelajaran, alih-alih mencapai kemandirian beras, ia justru mengikis tradisi kebersamaan uma. Pada akhirnya, upaya memutus ketergantungan pada pangan luar harus kembali berakar pada warisan lumbung pangan lokal yang telah teruji secara budaya, ekologi, dan sosial yaitu tinungglu.


*Liputan ini merupakan bagian dari Beasiswa "Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025" yang didukung oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan AJI Jakarta."


 
 
 

Komentar

Tidak Dapat Memuat Komentar
Sepertinya ada masalah teknis. Coba sambungkan kembali atau segarkan halaman.

PADANG

YAYASAN CITRA MANDIRI MENTAWAI

Jl. Gng Semeru IV No 3

Kel.Gunung Pangilun, Kec. Padang Utara 

Padang 25137

TUA PEJAT

YAYASAN CITRA MANDIRI MENTAWAI

Jln Raya Tuapeijat KM 8

Gang Beringin

Kabupaten Keb Mentawai

KONTAK

T: +62 (0751) 35528

E: ycmm@ycmmentawai.org

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • LinkedIn
  • YouTube
  • TikTok

Subscribe to Our Newsletter

© 2018 by Yayasan Citra Mandiri Mentawai. Design by Sustainable Vagabonds

MITRA

09022016053154-ycmm.jpeg
th.jpg
Logo DCV_1.png
09022016053349-ycmm.jpeg
09022016052923-ycmm.jpeg
09022016053022-ycmm.jpeg
09022016053312-ycmm.jpeg
bottom of page