top of page
Gambar penulisycmmentawai

Hutan Berkat, Rumah Primata Endemik Mentawai yang Kini Rusak


Kayu yang sudah ditebang di lokasi habitat primata endemik di hutan Berkat. (Foto: Rus/Mentawaikita.com)


Aktivitas logging membuat primata yang sebelumnya ada kini sulit ditemukan

SIPORA-Hutan Berkat di Pantai Pukarayat Dusun Berkat Desa Tuapeijat Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai menjadi rumah bagi empat primata endemik Mentawai, bilou, bokkoi, joja dan simakobu. Hewan endemik berarti hanya hidup di Mentawai dan tidak ditemukan di daerah lain. Beberapa bulan lalu, keempat primata ini dengan mudah ditemukan bergelantungan di pohon-pohon tinggi Hutan Berkat.

Mateus Sakaliou, pegiat konservasi Malinggai Uma yang tinggal di Goiso Oinan, Sipora Utara mendokumentasikan empat primata endemik itu, termasuk beberapa hewan lainnya seperti ular, kodok dan kupu-kupu pada September tahun lalu.

“Di sini tempat hidup bermacam satwa liar yang sempat kita lihat tahun lalu, bokkoi, simakobu, joja, bilou mudah dilihat setiap berjalan 10 meter hingga 20 meter,” kata Mateus, Sabtu (25/6/2022).

Mateus Sakaliou memakai baju loreng bersama Salomo sedang mengamati primata di hutan berkat. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)

Mateus yang juga berprofesi sebagai pemandu wisata ini rutin berkunjung ke Hutan Berkat sehingga sangat mengenal karakter primata di hutan seluas 1.000 hektar itu. Bilou misalnya pemakan buahan-buahan sejenis buah rotan dan tinggal di pohon alibakbak (Bahasa Mentawai) dan pohon tumung (Campnosperma auriculatum). “Dia bersuara di pagi hari, kalau kita pencinta alam dan sering ke hutan tahu jika bilou berbunyi tandanya sudah pagi,” katanya.

Bilou (Hylobates klosii). (Foto: Arif Setiawan/Swara Owa)

Bilou (Hylobates klosii) hidup dengan keluarga intinya terdiri dari jantan, betina dan anaknya. “Tapi ketika anaknya sudah dewasa, bilou itu pisah dengan ibunya dan mencari tempat yang lain. Walaupun berpisah tetapi dia tetap satu kelompok, dia berpisah mencari jodoh-jodoh yang lain. Selain itu bilou itu bersifat monogami, dia tidak bisa kawin dengan bilou yang lain,” ujarnya.

Sedangkan Simakobu (Simias concolor) memiliki banyak nama di Mentawai. Di Siberut Utara disebut alaita, di Pagai Selatan Utara dan Selatan serta Sipora namanya masepsep dan menjadi buruan warga setempat untuk dikonsumsi. Simakobu ini tidur di pangkal dahan kayu tumung atau dikenal kayu terentang, makanannya adalah daun-daun muda seperti daun meranti muda serta bunga-bunga dan buah-buahan. “Simakobu bangunnya jam 8 apalagi hujan dia tidur lama. Hidup simakobu ini berkelompok 10 sampai 20 ekor,” ujarnya.

Simakobu (Simias concolor) (Foto: Mateus Sakaliou)

Bagi Mateus, simakobu adalah primata sangat berjasa, dialah yang menebar bibit tanaman di seluruh Mentawai, dengan memakan buah-buah kayu seperti meranti dan tumbuh di tempat lain yang ditebang saat ini. “Simakobu ini sangat penting bagi saya karena sangat luar biasa, kalau tidak ada primata mana tumbuh pohon kemana-mana seperti buah meranti, buahnya dimakan lalu dibawa keman-mana dari kotorannya, bijinya tumbuh akhirnya kita gunakan untuk sampan, rumah apapun bangunannya sebenarnya seperti itu karena belum ada kesdaran begitulah adanya,” katanya.

Bokkoi atau Beruk Mentawai (Macaca pagensis). (Foto: Mateus Sakaliou)

Primata berikutnya adalah bokkoi atau beruk Mentawai (Macaca pagensis), primata ini tidur di pohon yang besar dan tinggi, kalau primata lain tidur di pangkal dahan tapi bokkoi ini tidur di ujung dahan.

“Beruk Mentawai ini agak liar, karena bisa mencium aroma tubuh manusia. Dia itu harus kena ayunan angin dan dia tetap bangun terus. Ketika dia bangun lalu tercium bau manusia dia langsung lari dan langsung terjun ke ke tanah menuju kelompoknya,” ucapnya.

Bokkoi ini biasanya makan daun muda, buah-buahan, tapi bisa juga memakan udang dan kepiting. “Kalau di atas pohon dia makan daun dan serangga, tapi dia juga bisa makan hasil pertanian masyarakat, kalau manusia bikin ladang di habitatnya maka hasil perladangan mereka itu akan dimakannya seperti pisang karena bokkoi sering makan pisang hutan dan buah enau,” ujarnya.

Joja atau Mentawai Langur (Presbytis prenziany). (Foto: Mateus Sakaliou)

Kemudian primata berikutnya yang menghuni hutan di Pukarayat tersebut adalah joja atau Mentawai Langur (Presbytis prenziany), yang biasa tinggal di pohon meranti/katuka. Joja suka beraktivitas malam hari.

“Joja tidak hidup berkelompok, paling banyak tiga ekor dan dua ekor, jenis makanannya daun-daun saja, Jadi kalau dia bersuara itu merupakan tanda menjelang pagi, ada juga dia bersuara tanda sudah melihat orang sehingga primata yang lain diam,” katanya.

Hutan Berkat yang rimbun dengan kanopi pohon yang menjulang menjadikannya rumah bagi primata endemik Mentawai. Mateus mengaku saat ini sudah jarang menemukan hutan sekomplit di Berkat.

Selain primata, hutan Berkat juga memiliki keragaman fauna lainnya seperti burung hantu, bajing terbang, kupu-kupu, ular, kodok. Karena keindahan dan kekayaan flora dan faunanya, Mateus sempat membawa sejumlah wisatawan ke sana, termasuk Swara Owa akhir tahun lalu. Bahkan dia sudah berencana menjadikan Kawasan itu sebagai lokasi ekowisata.

“Saya sudah temui pemerintah setempat dan juga mengajak kaum muda di sini untuk dilatih menjadi pemandu wisata,” katanya.

Aktivitas Logging Hancurkan Rumah Primata

Namun rencana Mateus hancur berantakan saat berkunjung lagi ke Hutan Berkat Juni lalu dan menemukan aktivitas penebangan di sana. Tumpukan kayu gelondongan habis ditebang ditambah tiga unit alat berat kini menjadi pemandangan di Hutan Berkat.

“Tahu-tahunya belum sampai satu tahun sudah seperti ini. Sekarang habitatnya sudah dirusak dan ditebang, padahal di sini (primata) paling lengkap,” katanya.

Aktivitas penebangan hutan menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungan hidup primata, jelas Mateus. “Pohon-pohon sudah habis, jadi sekarang ini saya sangat prihatin dengan keberlangsungan hidup primata,” katanya.

Tumpukan balok kayu di logpon dekat hutan Berkat. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)

Pendapat Mateus dibenarkan Dr Rizaldi, peneliti Primata Endemik Mentawai dari Universitas Andalas. Saat ini, primata di Sipora dan Pagai paling terancam aktivitas logging (penebangan kayu) karena tidak ada Kawasan konservasi. Sementara di Pulau Siberut, setidaknya masih ada Taman Nasional Siberut.

“Idealnya masing-masing kawasan itu harus ada wilayah konservasinya, jangan tunggu sampai habis dulu (primata),” katanya Rabu (13/7/2022).

Pentingnya perlindungan primata Mentawai menurut Rizaldi karena merupakan paling endemik dan tidak dijumpai di wilayah lain, seperti hasil penelitian dari The International Union for Conservation of Nature (IUCN).

“Primata Mentawai lebih endemik lagi dari pada Madagascar. Madagascar juga punya primata endemik juga seperti lemur, tapi lemurnya banyak jenisnya,” katanya.

Merujuk IUCN, Mentawai sebenarnya memiliki enam jenis primata, bokkoi pagai (Macaca pagensis), bokkoi siberut (Macaca siberut), joja pagai (Presbytis potenziany), joja siberut (Presbytis siberu), bilou (Hylobates klossii) dan simakobu (Simias concolor).

Dari semua primata itu, bilou atau siamang kerdil paling terancam kehidupannya karena pohon-pohon yang menjadi tempat hidup dan beraktivitas berkurang. “Bilou sangat bergantung pada pohon berkanopi tinggi, mereka tak bisa jalan di tanah,” katanya.

Sementara bokkoi dan joja menurut Rizaldi masih bisa berjalan di tanah, namun bokkoi dan joja terancam kehilangan makanannya.

Berdasarkan IUCN yang mengutip penelitian Whittaker (2006), perkiraan populasi bilou sekitar 20.000 hingga 25.000 individu. bokkoi pagai diperkirakan 2.100 hingga 3.700 individu, bokkoi siberut antara 17.000 hingga 30.000 individu. Populasi joja siberut tidak diketahui untuk keseluruhan Pulau Siberut. untuk di Taman Nasional Siberut diperkirakan 17.384 individu. joja pagai 300 hingga 1.200 individu, simakobu 6.700 hingga 17.300 individu.

Kepala BKSDA Sumbar, Ardi Andono mengakui bahwa di Pulau Sipora tidak ada wilayah konservasi, sedang suaka margasatwa ada di Pagai Selatan dengan luas 2.798,99 Ha dan Taman Wisata Alam (TWA) Saibi Sarabua terletak di Desa Maileppet, Kecamatan Siberut Selatan sampai Saibi Sarabua, Kecamatan Siberut Selatan dengan luas 3.245,83 Ha. “Kita belum ada areal konservasi di Sipora, namun pengawasan terhadap hewan yang dilindungi akan tetap dilakukan,” ujarnya.

Berdasarkan data dari Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) 3 Pekanbaru ada tujuh yang diberikan hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUH) di wilayah habitat endemik primata Mentawai di wilayah Sipora Selatan terutama di hutan Dusun Berkat Desa Tuapeijat.

Tujuh yang mendapat hak akses tersebut adalah, Aser Sababalat I dengan luas 50 hektar dan sudah melakukan penebangan di Desa Tuapeijat, Kecamatan Sipora Utara tahun 2020. Aser Sabalalat II luas 48, 94 hektar di Desa Tuapeijat, Kecamatan Sipora Utara sekarang sudah proses penebangan (2021). Aser Sababalat III dengan luas 50 hektar tahun 2022 sedang proses penebangan di Desa Tuapeijat, Kecamatan Sipora Utara. Aser Sababalat IV luas 48.99 hektar di Desa Tuapeijat, Kecamatan Sipora Utara belum melakukan penebangan. Aser Sababalat V dengan luas 46,96 hektar Desa Tuapeijat, Kecamatan Sipora Utara belum dilakukan penebangan. Jasa Samangilailai dengan luas 50,88 hektar di Desa Saureinuk, Kecamatan Sipora Selatan belum melakukan penebangan. Monang Tatubeket, Desa Goisok Oinan, Kecamatan Sipora Selatan, belum ditebang.


72 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page