PADANG--Hutan memiliki arti penting bagi masyarakat adat Mentawai sebagai ruang hidup masyarakat, tempat melakukan aktivitas budaya atau ritual adat serta menyediakan segala kebutuhan mulai dari bahan pembuat perahu, rumah, tanaman obat, tanaman pangan hingga tempat berburu hewan. Karena itu, kehilangan hutan akan mengancam keberadaan masyarakat adat.
Hal itu mengemuka dalam Talk Show “Hutan Mentawai Hilang, Masyarakat Adat Terancam” yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat bersama Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) di Kubik Koffie, Padang, Minggu (9/12) sekaligus peluncuran Kampanye Rimba Terakhir Mentawai.
Fransiskus, masyarakat adat Mentawai dari Uma Sabulukkungan, Dusun Puro, Desa Muntei, Siberut Selatan saat talk show menyatakan, di Mentawai setiap jengkal tanah ada pemiliknya dan bisa dibuktikan melalui sempadan batas tanah suku. Begitu pentingnya arti tanah bagi suku di Mentawai sehingga konflik tanah diselesaikan serius, bahkan di beberapa tempat masih diselesaikan melalui tippu sasa (belah rotan).
Hutan sebagai sumber kehidupan orang Mentawai dipercaya memiliki roh-roh. Karena itu praktik dan ritual adat juga dilakukan dalam hutan, misal saat menebang pohon untuk perahu atau rumah, atau saat membuka perladangan baru. “Hutan menyediakan kehidupan bagi kami, tempat mencari tanaman obat, mencari rotan untuk dijual, tempat berburu, banyak hal di hutan yang bisa dimanfaatkan masyarakat secara ekonomi,” jelas Frans.
Demikian pentingnya arti hutan dan tanah menyebabkan masyarakat adat Mentawai sangat gigih mempertahankan hutan dan tanahnya. Sejarah mencatat perlawanan dan penolakan masyarakat adat Mentawai terhadap investasi di bidang kehutanan misal izin pengelolaan kayu oleh perusahaan HPH PT. Minas Pagai Lumber atau Koperasi Andalas Madani dulu pernah diprotes atau yang terbaru, terbitnya izin Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk perkebunan kaliandra yang akan dijadikan kayu pembangkit listrik energi terbarukan.
“Jika kita lihat pembagian tata ruang wilayah Mentawai, 82 persen dari daratan wilayah kepulauan ini dikuasai negara menjadi kawasan hutan, ada hutan produksi, kawasan lindung, hutan produksi konversi dan hanya 18 persen yang menjadi kuasa masyarakat dan menjadi ruang aktivitas masyarakat, tentu saja ini sangat sedikit, bahkan kalau kita lihat di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, 78 ribu hutan produksinya menjadi konsesi perusahaan HPH/IPHHK-HA dan hanya sekira 400 hektar yang tidak dibebani izin, sementara Areal Penggunaan Lain hanya 36 ribu lebih, dengan ruang kelola sesempit itu, bagaimana masyarakat bisa hidup sejahtera,” jelas Rifai, Direktur YCMM yang juga menjadi narasumber.
Sempitnya ruang kelola masyarakat adat, jelas Rifai, memunculkan konflik dan letupan di Mentawai terutama saat ada investasi masuk. “Bukan berarti orang Mentawai tidak mau berbagi tanahnya dengan orang lain, banyak tanah di Mentawai yang diserahkan atau dihibahkan untuk jalan, sekolah, sarana kesehatan. Bahkan di Mentwai, banyak pendatang diberi tanah orang Mentawai dan malah diangkat menjadi saudara atau siripok, itu membuktikan orang Mentawai juga menyadari dan menjalankan fungsi sosial tanahnya,” kata Rifai.
Yang menjadi penolakan bagi masyarakat, katanya, ketika ada peralihan tanah atau peralihan hak tanah ke pihak lain. Apalagi selama ini, keberadaan perusahaan tidak membuat masyarakat hidup lebih sejahtera sebab kebanyakan masyarakat hanya dipekerjakan sebagai buruh bukan staf. “Mentawai masih menjadi daerah tertinggal, padahal izin konsesi perusahaan kayu sudah ada sejak tahun 1970-an, ini menyatakan bahwa investasi sector kehutanan belum berdampak kepada kesejahteraan masyarakat Mentawai,” katanya menambahkan.
Menanggapi itu, Profesor Afrizal, akademisi dari Universitas Andalas menyatakan, daerah yang memiliki hutan dan masyarakat seringkali mengalami konflik terutama saat ada investasi masuk dan masyarakat hampir selalu di posisi yang lemah. “Karena itu penguatan terhadap masyarakat adat sangat penting dilakukan secara terus menerus sehingga mereka bisa berdaya, bisa mandiri,” kata Prof. Afrizal.
Ia juga menyorot pentingnya pengakuan masyarakat adat sebagai peluang menguatkan eksistensi masyarakat segera diimplementasikan, apalagi dalam konteks Mentawai, sudah ada peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat hukum adat. “Saya melihat implementasinya masih lemah,” katanya.
Sementara Direktur Walhi Sumbar, Uslaini yang juga menjadi narasumber mengatakan, eksploitasi hutan di Mentawai oleh perusahaan kayu sejak tahun 1970-an memberi dampak terhadap lingkungan. Ia mencontohkan kejadian banjir yang frekuensinya meningkat dan luasannya makin besar sejak hutan dibabat HPH. Selain itu, dampak terhadap lingkungan terutama di Pulau Siberut dikhawatirkan meningkat dengan terbitnya izin Hutan Tanaman Industri untuk perkebunan kaliandra sebagai sumber kayu energi terbarukan.
Ia juga menyorot cepatnya proses perizinan di sektor kehutanan saat ini untuk mempermudah investasi mengabaikan aspirasi rakyat dan mengecilkan ruang partisipasi. “Saya ingat setahun lalu, banyak suku-suku di Siberut menolak HTI dan aspirasinya disampaikan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, proses izin sempat ditunda namun kini kabarnya izin online sudah keluar,” katanya.
Kommentare