Ironi Sipora: Konsesi Hutan Mengancam Pesisir dan Ombak Dunia
- ycmmentawai
- 23 Sep
- 17 menit membaca
Diperbarui: 25 Sep
Oleh: Ocha Mariadi

“Di balik ombak Lance's Right yang memikat, Sipora kini menghadapi ancaman yang menggerogoti keindahan yang telah menjadikannya ikon selancar dunia."
Tiga dekade lalu Lance Knight dari Australia berselancar pertama kalinya dan menemukan Lance’s Right di Katiet, Desa Bosua, Sipora Selatan, Mentawai, Sumatera Barat. Ombak tubing (lorong) yang memiliki kejernihan air, kekuatan dan kecepatan sempurna ini menjadi ikon peselancar global, sebuah hadiah alam yang kini berada di bawah bayang-bayang eksploitasi.
Lance yang bekerja sebagai kapten kapal dan menghabiskan bertahun-tahun untuk memetakan kembali The Australian Barrier Reefs datang menjejakkan kaki pertama kali ke Sipora pada 12 Maret 1991 dan mengamati banyak kapal tongkang yang memuat kayu gelondongan yang berlabuh di lepas Pantai Tuapejat, Sipora Utara
“Saya sudah menyaksikan penebangan hutan di Kepulauan Nugini oleh perusahaan-perusahaan kayu, tetapi saya terkejut dan tidak menyangka akan menemukan hal seperti ini di tempat yang begitu indah,” katanya melalui surat elektronik 24 Agustus lalu.

Kini, pemandangan yang sama mungkin akan terlihat lagi di Sipora setelah pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal mengeluarkan Persetujuan Komitmen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan PT Sumber Permata Sipora (SPS) seluas 20.706 hektar pada 28 Maret 2023.
Rencana perizinan PT SPS ini mencakup sepertiga Pulau Sipora yang luasnya 62,073 hektar dan memicu gelombang protes masyarakat dan Koalisi NGO Sumatera Barat karena berpotensi memicu bencana ekologis di pulau yang dikategorikan sebagai pulau kecil ini.
Ini seperti mengulang kisah lama karena izin konsesi hutan bukan pertama kalinya di Sipora. Pada 1971, pemerintah mengeluarkan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk PT Bhara Union seluas 43.000 hektar.
Perusahaan ini diprotes masyarakat Desa Bosua pada 1997 karena mengambil kayu besar di wilayah adat mereka di Pangareuruat. Belakangan, izin perusahaan ini sempat bermasalah ketika Kementerian Kehutanan tidak lagi mengeluarkan rencana kerja tahunan hingga akhirnya operasional berhenti.
Berhentinya operasional perusahaan itu tak lantas menghilangkan dampak buruknya. Jejak kerusakan ikut menggerus tradisi yang mengakar pada ekosistem laut, seperti tradisi mencari gurita sebelum menikah bagi kaum laki-laki di Dusun Sagitsi Desa Nemnemleleu, Sipora Selatan.
Dulu, sebelum tahun 90-an, Sagitsi sangat dikenal sebagai desa penghasil gurita. “Kami punya tradisi tak bara gurita, tak mutalimo, tidak bisa menikah jika belum bisa mencari gurita,” ungkap Marjohan Samaloisa, Kepala Dusun Sagitsi Tengah, saat ditemui awal Agustus lalu.
Namun tradisi ini perlahan menghilang seiring aktivitas log pond HPH PT Bhara Union di Teluk Sagitsi yang membawa lalu lalang kayu logging dari darat ke kapal tongkang untuk dibawa keluar Mentawai.
Aktivitas HPH di masa lalu itu menyimpan trauma bagi Marjohan. Kampungnya pernah dilanda banjir besar tahun 1995, tak lama setelah log pond perusahaan beroperasi.
“Banjirnya sangat besar, atap rumah hilang, kami saja bersampan dulu di jalan-jalan ini karena tingginya air. Meski kampung kami memang sering banjir, namun belum pernah sebesar itu,” katanya.
Marjohan yang mengaku pernah bekerja di HPH Bhara Union menjadi tukang survei kayu tebangan (timber cruising) dan menyaksikan bagaimana pohon besar di hulu ditebang, diseret dengan alat berat, menyebabkan tanah terkelupas dan hanyut ke sungai. “Ini yang menyebabkan sungai menjadi berwarna kuning kecoklatan,” katanya.
Sungai yang membawa sedimentasi itu mengalir ke laut. “Muara sungai jadi dangkal. mangrove terpengaruh, karangnya di sekitar log pond juga seperti berlumut mati dan ikan sudah susah dicari,” katanya.
Marjohan mengaku trauma dan tak lagi mau terbuai janji perusahaan kayu. “Kami belajar dari masa lalu, dulu mungkin tidak paham, tapi sekarang sudah berbeda,” katanya.
Hal sama juga diungkapkan Kepala Dusun Sagitsi Timur, Muar Sakerebau. Dia mengenang saat masih sekolah dasar dan sering pergi ke melaut di pinggir pantai di dekat kampung. “Dulu saat masih kecil, saya sudah bisa menangkap gurita bersama teman-teman, naik sampan di dekat karang di depan kampung, dari atas perahu, melihat ke bawah air yang jernih, kalau ada gurita lewat kami tombak,” katanya awal Agustus lalu.
Sejak itu hingga kini, Sagitsi sebagai daerah penghasil gurita hanya tinggal kenangan. “Kalau mau makan gurita, kami harus mencari di Sao, kampung lain atau membelinya ke nelayan dari Masokut atau Bosua,” katanya.
Rencana ini bukan hanya memicu kekhawatiran masyarakat, tetapi juga mengungkapkan proses perizinan yang sarat masalah, seolah mengabaikan kerentanan Sipora sebagai pulau kecil.
Ancaman Terkini dari PBPH PT SPS

PT Sumber Permata Sipora resmi berdiri pada 2016 dan bergerak di sektor kehutanan. Direkturnya H. Bakhrial, sosok terkenal di Mentawai sebagai pengusaha kayu. Selain PT SPS, Bakhrial juga pemilik izin konsesi untuk IUPHHK-HA PT Minas Pagai Lumber di Pagai Utara-Selatan, Mentawai seluas kurang lebih 78.000 hektar. Izin ini sudah terbit sejak 1970-an dan sudah mendapat perpanjangan terakhir dari Kementerian Kehutanan pada 2013.
PT SPS pertama kali mengajukan permintaan rekomendasi permohonan IUPHHK-HA kepada Pemerintah Provinsi Sumbar pada 7 Maret 2016 seluas 31.049,37 hektar.
Namun luasan yang diusulkan menyusut berdasarkan kajian Dinas Kehutanan Sumbar yang menganjurkan areal 22.901 hektar pada 29 Maret 2016. Perusahaan kemudian resmi mengajukan permohonan IUPHHK-HA pada KLHK pada 3 Agustus 2017.
Pengurusan izin terus berproses hingga Gubernur Sumatera Barat memberikan dukungan pada PT SPS dan berkirim surat ke KLHK pada Februari 2019. Baru pada Juni 2022, KLHK menyusun peta arahan pemanfaatan untuk PBPH di Sumatera Barat dimana Sipora masuk dalam alokasi.
Dari dokumen yang diperoleh Mentawaikita, pada 22 Juli 2-22 dilakukan pertemuan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Hotel Mandarin Jakarta.
Pertemuan menyepakati Sipora pulau kecil yang sangat rentan sehingga tidak diberikan PBPH kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu karena bersifat eksploitatif, kecuali untuk kegiatan non-eksploitatif seperti pemanfaatan jasa lingkungan.
Perihal pertemuan itu termuat dalam surat dari Direktorat Pengelolaan Hutan Lestari KLHK kepada Direktorat Pengelolaan Ruang Laut pada 19 Juli 2022 yang meminta pertimbangan terkait kawasan pesisir dan pulau kecil untuk pemanfaatan berusaha pemanfaatan hutan, karena rekomendasi sebelumnya tidak boleh untuk kegiatan eksploitatif.
Surat tersebut dijawab Direktorat Jenderal Ruang Laut pada 27 Juli 2022 yang menyatakan PBPH merupakan kewenangan KLHK, dengan harus memperhatikan kerentanan dan kelestarian ekosistemnya maka kegiatan pemanfaatan hutan alam PBPH dapat dilakukan selektif.
Setelah rekomendasi itu, KLHK meminta PT SPS mengajukan kembali permohonan PBPH pada 22 Agustus 2022 dan delapan hari kemudian PT SPS resmi mengajukan kembali PBPH ke KLHK melalui Online Single Submission. Perusahaan kemudian mendapat nomor induk berusaha berbasis risiko pada 12 Januari 2023. Baru setelah itu, BKPM mengeluarkan Persetujuan Komitmen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan PT Sumber Permata Sipora (SPS) pada 28 Maret 2023, seluas 20.706 hektar.
Ketua Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai, mengatakan rekomendasi KKP yang berubah dari kesepakatan rapat 12 Juli 2022 telah mengabaikan Pasal 23 ayat (2) UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengatur pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan antara lain untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan.
“Ini memperlihatkan ketidakkonsistenan pemerintah, ambigu dan menimbulkan ketidakpastian, hendaknya kembali ke kesepakatan rapat tanggal 12 Juli,” kata Rifai, awal September.
Mengapa kesepakatan untuk melarang kegiatan eksploitatif di Sipora dan tidak merekomendasikan PBPH pemanfaatan hasil hutan kayu pada rapat bersama KLHK dan KKP 12 Juli berubah setelah adanya surat dari Direktorat Pengelolaan Hutan Lestari KLHK?
Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP, Ahmad Aris melalui jawaban tertulis, mengatakan hasil rapat 12 Juli 2022 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga keputusan rekomendasi harus dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta UU terkait Kehutanan dan peraturan turunannya.
Dalam hal pulau kecil telah ditetapkan sebagai kawasan hutan sebagai mana Sipora, perizinannya menjadi kewenangan KLHK, maka selain memenuhi ketentuan dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil, juga harus merujuk kepada peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan diantaranya Permen No.3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, Permenhut No. P.65/2014 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi.
Jadi menurut dia, prioritas pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya sesuai Permen KKP No.53/2020 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya dalam rangka PMA, yakni untuk budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri yang lestari, pertanian organik dan peternakan. Namun pulau kecil juga dapat dimanfaatkan juga untuk kegiatan lainnya sesuai ketentuan perundang-undangan.
Jadi meski Sipora merupakan pulau kecil yang rentan, menurut Ahmad Aris tetap bisa melakukan kegiatan pemanfaatan hutan kayu dengan selektif atau tebang pilih karena sistem ini diyakini telah mempertimbangkan kelestarian ekosistem hutan sebagaimana diatur dalam PP No.3/2008 dan Permenhut No. P.65/Menhut-II/2014.
Dia juga menekankan, meski dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu selektif, kegiatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan kewajiban untuk memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat dan menggunakan teknologi ranah lingkungan sebagaimana Pasal 23 ayat (3) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu juga harus memperhatikan pemanfaatan sumberdaya hayati dan pemanfaatan jasa lingkungan berkelanjutan, kerentanan dan kelestarian ekosistem pulau kecil, daya dukung dan daya tampung lingkungan, kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, keberadaan situs budaya tradisional, teknologi yang digunakan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Namun argumentasi dari KKP itu dinilai tidak tepat dan mengamputasi keberlakuan UU Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Menurut Rifai, dalam konteks pemberian PBPH di Sipora, ada dua perundang-undangan yang berlaku. Yang pertama adalah UU kehutanan sebagai hukum umum yang mengatur tentang kehutanan berlaku untuk hutan di pulau besar dan juga hutan di pulau kecil. Yang kedua UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang secara khusus mengatur pengelolaan wilayah dan sumber daya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan pulau kecil.
“Jika terjadi dua pertentangan norma antara dua peraturan perundang-undangan yang tingkatnya sama, maka berlaku asas peraturan khusus yang mengenyampingkan peraturan yang umum. dengan demikian meskipun terdapat penetapan fungsi hutan produksi di Pulau Sipora maka penetapan tersebut bisa dikesampingkan oleh UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Apalagi penetapan hutan produksi hanya diatur dalam peraturan dalam peraturan setingkat keputusan menteri,” kata Rifai.
Selain ketidakkonsistenan pemerintah menyikapi pemanfaatan pulau kecil, klaim mengenai dokumen Andal akan memperhatikan status Sipora sebagai pulau kecil kurang meyakinkan. Dokumen analisis dampak lingkungan (Andal) setebal 952 halaman dan dokumen rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup setebal 350 halaman dinilai tidak komprehensif.

Wilayah studi tidak mencakup semua area yang berpotensi terdampak dalam hal ini pesisir bagian barat dan timur Sipora. Konsekuensinya tidak akan ada upaya pengelolaan dan pemantauan di pesisir, dan sejauh mana bisa memastikan kerentanannya, jelas Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Barat, Tommy Adam pada 5 September.
Dokumen Andal dan dokumen rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup menurut Tommy tidak secara gamblang mengkaji dampak operasional perusahaan terhadap masyarakat pesisir secara sosial, ekonomi dan budaya. Hanya membahas upaya mengatasi gangguan lalu lintas kapal kayu terhadap aktivitas melaut nelayan.
“Jadi jangankan ada kajian soal apakah ada situs budaya tradisional di pesisir yang akan terdampak, dokumen Andal dan dokumen rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup hanya melihat dampak pada kualitas air laut, mangrove dan keanekaragaman biota laut,” katanya.
Padahal potensi dampak kegiatan PHPH PT SPS ini harus dikaji secara holistik karena kerentanan Sipora sebagai pulau kecil. “Dampaknya akan terasa mulai dari hulu sungai di darat hingga ke ujungnya di laut,” kata Tommy.
Kekhawatiran Tommy cukup beralasan karena dilihat dari peta areal kerja PT SPS, ada 18 daerah aliran sungai (DAS) yang akan beririsan dengan lokasi kerja perusahaan yang umumnya berada di hulu DAS.
Dengan karakteristik DAS yang memiliki banyak percabangan sungai, penebangan pohon di hulu dapat menghilangkan sumber mata air dan sungai kecil yang menjadi percabangan sungai besar. Sedimentasi menyebabkan pendangkalan di pertemuan cabang sungai, bersama material lain seperti kayu dan batu akan menyumbat aliran air dan menyebabkan banjir saat hujan deras.
“Jadi kegiatan PBPH PT SPS ini bisa memperparah kerusakan DAS dan memperparah banjir yang sudah kerap dialami masyarakat,” katanya.
Desa yang akan terdampak banjir itu menurut Tommy hampir meliputi semua desa pesisir di Sipora seperti Betumonga, Beriulou, Saureinu, Matobe, Sioban, Tuapeijat, Mara, Nemnemleleu dan Bosua.
Semua sungai besar yang mengaliri desa-desa di atas menurut Tommy akan mengalir ke laut di bagian barat dan timur pulau. “Misalkan di Bosua yang alirannya berasal dari Sungai Sinabak alirannya bermuara ke pesisir barat. Jika membawa sedimentasi tentu mempengaruhi spot selancar,” katanya.
Menanggapi protes sejumlah NGO dan masyarakat, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumbar, Tasliatul Fuaddi menyatakan izin lingkungan PT SPS belum terbit dan proses Amdal tengah berjalan.
Terkait kritik soal sedimentasi, diakuinya akan menjadi dampak kegiatan penebangan pohon PT SPS. “Karena itu harus hati-hati menentukan, tingkat penebangannya tidak seperti di darat, kita sedang usulkan untuk dinaikkan pohon yang ditebang di atas diameter 40,” katanya 19 Agustus lalu.
Tanggapan atas protes NGO dan masyarakat juga direspon Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari. dengan mengambil langkah kehati-hatian antara lain mendorong penyaluran aspirasi masyarakat dan memastikan keterlibatan publik secara transparan dalam mekanisme Amdal, jelas Saparis Soedarjanto, Sekretaris Ditjen PHL Kemenhut dalam keterangan persnya, Senin 25 Agustus.
Kemenhut juga mendorong Pemprov Sumbar mengawali proses Amdal secara ketat, dan memverifikasi dugaan aktivitas pembukaan lahan di sekitar areal permohonan, serta mengkoordinasikan hasil verifikasi tersebut bersama Dirjen Penegakkan Hukum Kemenhut untuk tindak lanjut penegakan hukum jika terbukti dan menghentikan terlebih dahulu proses permohonan PBPH PT SPS hingga seluruh respon dan telaah komprehensif selesai dilakukan.
Menurut Saparis, perizinan PBPH kini menggunakan pendekatan multi usaha kehutanan yang tidak hanya berorientasi pada pemanfaatan kayu tapi juga mengintegrasikan potensi hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan hingga ekowisata. pendekatan ini mendorong pengelolaan hutan yang produktif, berkelanjutan dan inklusif dengan mengintegrasikan berbagai potensi hutan untuk mendukung bioekonomi dengan tetap mengutamakan kelestarian kawasan hutan.
Terkait dugaan overlap lokasi permohonan perizinan PBPH dengan permohonan hutan adat dua komunitas yakni uma sakerebau Maileppet dan uma sibagau yang mencapai 6.937 hektar menjadi pertimbangan serius. Kemenhut melalui Direktorat jenderal Perhutanan Sosial berkomitmen mempercepat pengesahan hutan adat di seluruh Indonesia sesuai aturan berlaku.
“Hal tersebut jadi pertimbangan dalam pengesahan permohonan PBPH SPS ke depan,” kata Direktur Penanganan Konflik tenurial dan HA Julmansyah.
Sejauh ini Kementerian Kehutanan menegaskan PT SPS belum mendapat perizinan berusaha pemanfaatan hutan di Sipora. Perusahaan baru mengantongi persetujuan komitmen yang diterbitkan 28 Maret 2023 setelah mendapat rekomendasi Gubernur Sumbar serta melalui verifikasi administrasi dan teknis.
Persetujuan komitmen bukan izin untuk melakukan kegiatan pemanfaatan hutan, melainkan kesempatan bagi pemohon untuk memenuhi kewajiban sebelum dapat dipertimbangkan pemberian PBPH. Kewajiban yang harus dipenuhi meliputi penyusunan koordinat geografis batas areal kerja, penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan dan pelunasan iuran PBPH.
“Bila kewajiban tidak dipenuhi, maka bukan saja PBPH tidak diberikan, persetujuan komitmen pun juga dapat dibatalkan,” ujar Saparis.
Sementara, Direktur PT Sumber Permata Sipora, Bakhrial membantah perusahaannya akan membabat hutan melainkan tebang pilih di kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas. “Saya juga ada di Minas, juga di Salaki (IUPHHK-HA Salaki Summa Sejahtera di Siberut) yang melakukan tebang pilih,” katanya saat diwawancarai tim kolaborasi melalui telepon pada 22 Agustus.
Terkait risiko bencana yang akan muncul seperti banjir hingga ke wilayah pesisir, menurut Bakhrial, pihaknya telah memulai kajian terkait analisis dampak lingkungan yang komprehensif, termasuk khususnya wilayah rawan bencana seperti daerah aliran sungai yang berpotensi terdampak.
Sementara menghadapi kritik terhadap kurang komprehensifnya kajian Amdal terutama di kawasan pesisir, Bakhrial mengakui pentingnya kajian dampak lengkap, pihaknya akan terus menyempurnakan penyusunan Amdal yang tengah berjalan.
Meskipun begitu, kekhawatiran masih terus disuarakan, terutama oleh Pemerintah Daerah Mentawai. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Mentawai, Elisa Siriparang menyatakan tidak setuju dengan rencana perizinan SPS karena akan berdampak besar bagi daya dukung Sipora sebagai pulau kecil.
“DLH Mentawai tidak dilibatkan dalam proses Amdal sejak awal. Mereka juga akui belum ada kajian dampak penebangan terhadap bencana tapi faktanya kami melihat banjir semakin besar skalanya, toek sebagai sumber ekonomi warga bisa hilang bahkan kawasan pesisir juga rusak, terumbu karang rusak,” katanya 2 Agustus lalu.
Dampak Nyata Ketika Ekologi dan Ekonomi Terancam
Ancaman ini bukanlah sekedar teori. Faktanya, dampak lingkungan dan ekonomi sudah mulai terasa, menggerogoti keindahan yang selama ini menjadi daya tarik Sipora. Meski demikian, bagi mereka yang pernah menginjakkan kaki di Sipora, keindahan itu tetap membekas.
Dari atas perahu, Lance Knight terkesima melihat hutan yang tersisa melihat hutan yang tersisa dan pepohonan besar yang masih berdiri tegak di cakrawala. “Saya masih takjub melihat betapa cantiknya garis pantai itu, selain beberapa kapal dan gubuk kecil di kampung, saya merasa seperti benar-benar menemukan surga,” katanya.
Ketertarikan awalnya datang ke Sipora setelah menemukan peta laut asli Kepulauan Mentawai dari Belanda. Setelah tiba di Katiet, berselancar dan menemukan ombak sempurna di sana, Lance pulang ke Jakarta bersama kapal Indies Trader milik Martin Daley.
“Saya ingat saat mendayung sendiri untuk pertama kalinya di ombak kanan (Lance’s Right) Katiet dan ombak kiri (Lance’s Left) dan tak pernah melupakan para pemuda dan anak-anak yang memanjat pohon dan berteriak keras kepada saya setiap kali saya mendayung. Saya dapat mendengar mereka dengan jelas di tengah ombak,” kenang Lance yang kini berusia 73 tahun.
Kekaguman dengan pantai Sipora juga diungkapkan Guineeld David, peselancar berusia 34 tahun dari Australia. Sudah tiga kali ke Mentawai, Guineeld sangat menyukai Sipora yang masih original, natural, jauh dari polusi dan lautnya yang sangat biru dan bersih.

“Mentawai itu adalah surga bagi peselancar dunia, siapa pun yang datang ke Mentawai akan puas menikmati ombak Mentawai dan itu tidak akan mengecewakan kalau bermain surfing di sini,” katanya saat berselancar di Mapaddegat, Sipora Utara, akhir Agustus lalu.
Banyaknya spot selancar menjadikan Mentawai target kunjungan wisatawan. Ada 66 spot tersebar di seluruh kepulauan dengan 20 diantaranya berada di Sipora. Karena itu Pemerintah Daerah Mentawai menjadikan selancar andalan pendapatan daerah.
Dalam tiga tahun terakhir, kunjungan wisatawan naik signifikan, dari 16.677 orang menjadi 45.157 orang, dengan jumlah wisatawan selancar 6.669 orang pada 2024.
Penjabat Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata Mentawai, Aban Barnabas mengatakan, target retribusi dari wisata selancar tahun ini Rp15 miliar. “Sampai Agustus ini, laporan staf sudah Rp8 miliar yang masuk ke kas daerah, kita akan terus dorong capaian ini,” katanya 15 Agustus lalu.
Wisata selancar tak pelak membuat ekonomi di Sipora menggeliat. Data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Mentawai mencatat 126 resort/homestay berstatus PMA di Sipora. Usaha penginapan ini menyerap banyak tenaga kerja lokal. Belum lagi bisnis di bidang transportasi yang juga berkembang subur.
Dedi Manalu, pemilik HTs Surfcamp Manalu di Katiet mengatakan penginapannya memiliki sembilan kamar dan hampir selalu terisi terutama saat musim ombak antara Mei-Agustus.
“Katiet saat ini jauh berkembang dibanding awal saya datang dan mulai berbisnis wisata pada 1997. Wisata ini menghidupkan ekonomi masyarakat,” kata Manalu, 1 Agustus lalu.
Namun Manalu mengkhawatirkan abrasi di Pantai Katiet. Ia lalu menunjukkan bangunan permanen di sebelah penginapannya, yang terlihat sudah berada di bibir pantai dan diberi dam atau tembok untuk mencegah air laut masuk. “Dulu masih ada halaman di depan rumah itu,” katanya.
Menurut Manalu, jika persoalan lingkungan tidak menjadi perhatian, akan berdampak kepada wisata ke depan. “Banyak yang bergantung hidup dari wisata ini, bisa dibayangkan jika lingkungan tidak dijaga dengan baik,” katanya.
Manalu tak sendiri. Aban juga khawatir dampak deforestasi terhadap pariwisata Mentawai ke depan. “Ini akan merugikan pariwisata, sebagai OPD, kami akan mengitu arahan Bupati untuk menyikapinya,” katanya menanggapi rencana PBPH PT SPS.
Kekhawatiran yang sama juga disuarakan Guineeld. Dia melihat perubahan garis pantai di Katiet yang ditandai dengan pohon kelapa yang habis karena abrasi. Meski Guineeld tidak tahu dan belum mendengar akan masuknya perusahaan kayu di Sipora, dia hanya berharap Mentawai termasuk Sipora harus dijaga keindahannya. “Semoga tidak ada penebangan kayu di Sipora karena dampaknya akan terasa di masa mendatang,” katanya.
Apa yang dikhawatirkan Manalu, Aban dan Guineeld di pesisir adalah bagian dari persoalan yang lebih besar. Interpretasi citra satelit dari Global Forest Watch memperlihatkan hutan Sipora menyusut 4.720 hektar dari 2001 hingga 2024, hampir 8% dari tutupan awal. Puncaknya terjadi pada tahun 2024, dimana deforestasi mencapai rekor 477 hektar.
"Tahun 2024 menjadi puncak deforestasi, dengan pembukaan hutan besar-besaran," jelas Tommy Adam.
Pengurangan tutupan hutan ini menurut Tommy berdampak kepada kerentanan lingkungan Pulau Sipora, salah satunya banjir yang semakin meningkat skalanya. Kejadian banjir 10 Juni lalu ditengarai Tommy akibat hal ini.
Banjir tersebut melanda Desa Tuapeijat, Sidomakmur, Bukit Pamewa, Goiso Oinan, Matobe dan Saureinu sehingga Pemerintah Daerah Mentawai terpaksa menetapkan tanggap darurat selama 14 hari.
Tommy menduga banjir itu sebagian terjadi akibat meluapnya sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Mapaddegat. Kondisi ini berkaitan dengan deforestasi di hulu DAS itu. Dia lalu memperlihatkan analisis spasial kondisi DAS Mapaddegat dimana terjadi deforestasi yang ditunjukkan warna pink di peta citra satelit.
“Kawasan ini telah kehilangan sekitar 540 hektar tutupan pohon sejak tahun 2001. Angka ini setara dengan penurunan 18 persen dibandingkan kondisi tahun 2000,” kata Tommy.
Dampak kerusakan tak berhenti di daratan, terumbu karang di kawasan Taman Wisata Perairan Selat Bunga Laut yang berada di antara Sipora Utara dan Siberut Barat Daya juga mengalami penurunan signifikan.
Laporan Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait LIPI bersama Universitas Bung Hatta tahun 2019 menemukan kondisi terumbu karang di TWP Selat Bunga Laut berada dalam tren degradasi yang konsisten. Data historis dari program Reef Health Monitoring (RHM) LIPI menunjukkan penurunan rata-rata tutupan karang hidup dari 22.4% pada tahun 2015 menjadi 14.87% pada tahun 2019.
Penurunan signifikan ini dipicu oleh fenomena pemutihan karang pada tahun 2016 dan diperburuk oleh stresor kronis seperti kompetisi dengan makroalga dan penurunan kualitas air akibat aktivitas manusia. TWP Selat Bunga Laut berada di perairan antara Sipora Utara dengan Siberut Barat Daya.
Rencana konsesi PT Sumber Permata Sipora dikhawatirkan akan mempercepat kerusakan ini. Penebangan hutan skala besar di hulu sungai akan menghasilkan sedimentasi, yaitu partikel tanah yang tergerus dan terbawa ke laut. “Sedimentasi biasanya kita sebut total suspended solids (TSS) yakni partikel yang tersuspensi dan terbawa terus hingga ke laut,” jelas ahli kelautan dari Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Bung Hatta, Dr. Harfiandri Damanhuri, awal Agustus lalu."
Sedimentasi dari sungai biasanya berasal dari partikel tanah yang erosi, lalu air hujan akan mengalirkannya ke sungai dan bermuara ke laut. “Sedimen ini akan menghalangi penetrasi cahaya matahari di laut,” katanya.
Jika sedimen yang mengendap menutupi polip karang, maka karang akan berusaha membersihkan diri dengan mengeluarkan lapisan lendir. Produksi lendir ini memakan energi yang sangat besar dan jika terjadi dalam jangka panjang, dapat menyebabkan karang stres, dan mati, katanya menjelaskan.
Kondisi ekosistem laut yang kian rusak ini akhirnya dirasakan langsung oleh para masyarakat Sipora terutama yang bermukim di pesisir. Sipora memiliki panjang pantai 254,6 kilometer, dengan sebagian besar desa berada di pesisir.
Data BPS Mentawai mencatat, pada 2023 hasil perikanan tangkap pulau ini mencapai 3.135 ton, dengan hasil perikanan utama ikan karang baik besar maupun kecil. Nelayan di Sipora seperti Mentawai pada umumnya adalah nelayan tradisional, melaut dengan sampan sederhana, umumnya menggunakan mesin 5 PK, bahkan tak sedikit masih menggunakan dayung. Teknologi penangkapan juga sederhana, menggunakan pancing maupun jaring. Kadang-kadang menyelam mencari gurita, lobster dan teripang tanpa pengamanan yang standar.
Karena masih tradisional, para nelayan ini biasanya mencari ikan di perairan yang tidak jauh dari kampung. Namun belakangan, mereka harus sering menjajal lokasi tangkap yang lebih jauh karena semakin sulitnya mencari ikan.

Asep Santoso, nelayan berusia 47 tahun dari Desa Tuapeijat, Sipora Utara mengaku lima tahun lalu masih bisa menangkap ikan 1 km dari pantai depan rumahnya di Pantai Jati. Namun sekarang, dia harus pergi lebih jauh ke tengah, bahkan sampai mendekati wilayah TWP Selat Bunga Laut.
“Dulu, saya melaut jam 3 sore, jam 6 sudah bisa pulang membawa ikan 20 kg, tapi sekarang sulit memancing ikan di karang di dekat kampung karena sudah banyak yang rusak,” katanya 5 September lalu.
Sekarang alih-alih dapat banyak, seringkali Asep harus nombok karena pulang dengan tangan hampa. Jika dulu bisa dapat Rp350 per trip, sekarang hanya bisa setengahnya, tak cukup menutup biaya ransum dan BBM.
Dia menuding penyebab kerusakan tersebut karena perilaku manusia terutama yang menggunakan cara tangkap yang tidak ramah lingkungan. “Masih ada yang pakai potas, pakai racun yang merusak karang, belum lagi kapal nelayan luar yang menangkap ikan di sini pakai cara merusak juga,” katanya.
Selain itu, Asep melihat kerusakan di daratan juga berpengaruh seperti sedimentasi dari sungai. Dia melihat muara sungai di sekitar lokasi tangkapnya di daerah Tuapeijat sudah keruh dan airnya berwarna coklat. “Pencemaran di sungai ini karena hutan sudah banyak ditebang, akibatnya juga pengaruh ke laut kita,” katanya.
Dia mencontohkan abrasi yang saat ini semakin lama makin meluas. Dulu halaman depan rumahnya cukup jauh dari garis pantai. “Bahkan dulu bisa kita main bulutangkis di depan rumah ini karena tanahnya masih lapang,” katanya.
Karena itu Asep berpesan agar pemerintah tidak lagi memberikan izin ke perusahaan kayu apapun karena sangat berdampak ke lingkungan dan masyarakat yang bergantung mata pencahariannya ke sumber daya alam.
Akibat semakin sulitnya menangkap ikan membuat banyak nelayan tidak bisa menggantungkan penghasilannya sepenuhnya dari laut.
Di sela waktu jeda melaut yang kadang cukup panjang terutama faktor cuaca, nelayan biasanya berladang, umumnya tanaman tua seperti kelapa dan cengkeh. Kegiatan berladang merupakan kebiasaan yang telah diwariskan secara turun temurun di Mentawai melalui pewarisan tanah adat dari klan.
Jadi seorang nelayan biasanya juga sekaligus petani, dua profesi itu digeluti dan dijalankan saling beriringan. Saat musim cengkeh tiba misalnya, para nelayan biasanya jarang sekali melaut dan lebih banyak menghabiskan waktunya di ladang.
Keterikatan orang Mentawai terhadap tanah dan hutan tidak hanya sekedar karena ekonomi namun juga sosial dan budaya. Bahkan tanah menjadi identitas diri. Kepemilikan tanah adat menandai keberadaan klan di suatu wilayah. Karena itu, meski ada yang bekerja sebagai nelayan, mereka tidak akan melupakan tanah dan hutan adat mereka.
Supriyanto, nelayan dari Desa Beriulou sudah menjadi nelayan selama 30 tahun. Namun tidak pernah meninggalkan tradisi berladang. “Saya juga berladang karena ini tradisi, apalagi pekerjaan nelayan menempuh banyak risiko, maka kita tidak bisa meninggalkan kebun kita sebagai sumber mata pencaharian lain,” katanya akhir Juli lalu.
Saat cuaca buruk dan tidak bisa turun ke laut, Supriyanto lebih banyak menghabiskan aktivitasnya di daratan. “Ke ladang maupun ke laut kita jalani dua-duanya,” katanya.
Seruan untuk Sipora
Pada akhirnya, perlindungan terhadap kerentanan Sipora perlu disuarakan sebelum terlambat. Guineeld David yang mengkhawatirkan abrasi di pantai Katiet mengharapkan siapa pun yang mencintai Mentawai, pernah ke Mentawai harus mendukung dan menjaga keindahannya. “Mentawai itu berkat yang indah,” katanya.
Lance juga sama, bahkan sudah merencanakan pensiunnya di Katiet kelak. “Keluarga saya telah membeli sebidang tanah kecil di dekat Katiet, tempat saya berharap dapat pensiun dari pekerjaan saya sebagai nakhoda kapal. Saya telah menjadi guru dan mentor bagi banyak anak muda sepanjang hidup saya. Saya berharap dapat terus mewariskan berbagai keterampilan saya di bidang maritim dan teknik, khususnya kesadaran akan keselamatan, mempromosikan pekerja lokal, dan mendukung industri lokal,” katanya.
Meski tak menentang penebangan kayu yang berkelanjutan, menurut Lance harus ada kawasan murni yang disisihkan untuk melestarikan alam liar yang unik yang menjadikan Sipora sebagai destinasi kelas dunia seperti sekarang ini.
Karena itu Lance meminta komunitas selancar global ikut memberi perhatian kepada Sipora agar tetap indah dan terjaga. “Sebagai salah satu, mungkin bukan turis pertama, saya berharap ini bisa dilakukan sebelum terlambat. Sipora memiliki tempat yang khusus di hati saya,” katanya.
Nasib Sipora kini dipertaruhkan, bukan hanya untuk penduduk lokal tetapi juga bagi warisan alam dunia yang tak ternilai harganya.
*Sumber berita ini dari Mentawaikita.com
* Laporan ini merupakan bagian dari Depati Project, program kolaborasi yang melibatkan Mentawaikita dengan sejumlah media
Komentar