Masyarakat Sipil: PT SPS di Pulau Sipora Tidak Layak Lingkungan
- ycmmentawai
- 6 hari yang lalu
- 3 menit membaca

PADANG — Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat menilai rencana usaha pemanfaatan hutan oleh PT Sumber Permata Sipora (PT SPS) di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, tidak layak secara lingkungan.
Penilaian ini disampaikan menyusul terbitnya surat persetujuan komitmen dari Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 28 Maret 2023. Dalam surat bernomor 28032311111309002 itu, PT SPS diberi hak pengelolaan lahan seluas 20.706 hektar untuk pemanfaatan hasil hutan kayu alam, hasil hutan bukan kayu, dan jasa lingkungan.
Namun, enggan menilai pemberian izin tersebut bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasalnya, luas Pulau Sipora hanya 615 km², termasuk kategori pulau kecil yang menurut undang-undang harus diprioritaskan untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan.
“Pulau Sipora termasuk dalam kategori pulau kecil yang tidak boleh dieksploitasi secara besar-besaran,” ujar Rifai, juru bicara terbuka.
Tommy Adam dari Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan Walhi Sumbar menambahkan, terdapat ketidaksesuaian antara koordinat lokasi usaha dalam dokumen persetujuan pemanfaatan ruang dengan lokasi aktual di lapangan.

“Setelah dicek melalui sistem GIS, ternyata titik koordinat izin justru berada di Kelurahan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat — bukan di Pulau Sipora,” ungkap Tommy.
Koalisi juga mengungkap kejanggalan dalam dokumen perizinan dan AMDAL PT SPS. Misalnya, ketidaksesuaian Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) antara izin yang dimiliki dan yang dicantumkan dalam dokumen lingkungan.
“PT SPS tercatat memiliki KBLI 02111 untuk usaha pemanfaatan kayu hutan tanaman. Namun, dalam izin persetujuan lingkungan, justru tercantum KBLI 02121 dan 0230 untuk pemanfaatan kayu hutan alam dan hasil hutan bukan kayu,” papar Rifai.
Selain itu, AMDAL PT SPS dinilai tidak memuat analisis dampak terhadap wilayah pesisir dan laut, tidak mencantumkan sumber materi pembangunan jalan sepanjang 130 km, serta mengabaikan keberadaan satwa endemik dan kelompok masyarakat marginal seperti perempuan penggarap pangan lokal (toek).
“Proses penyusunan AMDAL juga sangat tidak partisipatif. Hanya empat orang per desa yang diundang, dan tidak mewakili kepentingan masyarakat secara menyeluruh,” tambah Rifai, yang juga Ketua Yayasan Citra Mandiri Mentawai.
Koalisi mencatat, dalam dua tahun terakhir terjadi 29 bencana di Sipora, termasuk gempa, banjir, longsor, dan abrasi. Penebangan hutan dengan ukuran besar akan memperparah kondisi tersebut.
“Banjir yang terjadi di Sipora baru-baru ini adalah sinyal dari alam bahwa pengelolaan hutan secara masif tidak layak dilakukan,” tegas Rifai.
Atas dasar itu, Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar menyampaikan lima tuntutan, yaitu mendesak Menteri Kehutanan serta Menteri Investasi/BKPM untuk segera membatalkan izin Persetujuan Komitmen PBPH atas nama PT. SPS, karena cacat prosedur, substansi, dan administratif yang membahayakan keselamatan lingkungan dan hak hidup masyarakat adat di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai.
Kemudian meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menegakkan ketentuan UU No. 27 Tahun 2007, jo. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas menyatakan bahwa pulau kecil seperti Sipora harus diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan, penelitian, pariwisata berkelanjutan, dan ketahanan pangan lokal bukan untuk eksploitasi dalam skala besar.
Koalisi juga mendesak Tim Uji kelayakan Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar untuk menyatakan rencana usaha PT. SPS tidak layak lingkungan dan Komisi Penilai AMDAL Pusat tidak menerbitkan persetujuan lingkungan untuk PBPH PT. SPS.
Kemudian menuntut izin dokumen AMDAL PT. SPS karena disusun secara tidak partisipatif, tidak berbasis data primer, mengandung banyak kekeliruan teknis, serta mengabaikan aspek-aspek penting seperti keanekaragaman hayati, kerawanan bencana, dampak sosial ekonomi, serta hak-hak masyarakat adat.
Selain itu pendanaan menolak seluruh bentuk kegiatan penebangan hutan alam di Pulau Sipora, karena akan memperparah krisis ekologis, meningkatkan risiko bencana, serta mengancam kelangsungan mata pencaharian masyarakat adat dan lokal, terutama kelompok marginal seperti perempuan penggarap pangan lokal (toek).
Comments