PADANG-Koalisi Pembela HAM Sumatra Barat melaporkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Sumatra Barat dan PT. Biomass Andalan Energi (PT. BAE) ke Komnas HAM Perwakilan Sumbar, Selasa (8/10/2019).
Juru bicara koalisi, Surya Purnama mengatakan, pelaporan tersebut terkait adanya dugaan pelanggaran HAM atas penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HTI) PT. BAE seluas 19.876,59 hektar di Kecamatan Siberut Utara dan Siberut Tengah Kabupaten Kepulauan Mentawai oleh Kementerian LHK Nomor : 619/MENLHK/SETJEN/HPL.0/2018 pada tanggal 26 Desember 2018.
Izin tersebut, menurut Koalisi membuat masyarakat adat Mentawai terutama yang berada di lokasi izin kehilangan hak atas wilayah adat. “Izin HTI PT. BAE diterbitkan di wilayah adat Masyarakat Adat Mentawai, diantaranya berada pada wilayah adat Suku Sirirui seluas 1.200 hektar, Suku Saponduruk seluas 92 hektar, Suku Saumanuk seluas 396 hektar Suku Sabulukungan dan Suku Satoutou seluas 4.000 hektar,” jelas Surya.
Karena itu, penerbitan izin telah mengabaikan serta menghapuskan keberadaan masyarakat hukum adat, menghilangkan hak-hak tradisional dan identitas budayanya, serta bertentangan dengan kebutuhan masyarakat hukum adat.
“Ini melanggar Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. jo Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945 “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. jo Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyrarakat, dan pemerintah”. Dan Pasal 6 Ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman” jelasnya.
Dugaan pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat Mentawai dengan keluarnya IUPHHK-HTI PT. Biomass Andalan Energi juga diperkuat oleh bukti adanya surat Bupati Kepulauan Mentawai tertanggal 4 September 2015 ditujukan kepada Direktur PT. Biomass Andalan Energi. Surat Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai yang menyatakan tidak dapat menyetujui rencana IUPHHK-HTI PT. BAE dengan alasan areal yang dimohonkan sudah diperuntukkan oleh Pemda Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk kegiatan Perhutanan Sosial bagi Masyarakat Adat Mentawai sebagai bagian dari Pemenuhan Dan Perlindungan Hak Asasi Masyarakat Adat Mentawai oleh Pemda Mentawai.
Selain itu, sebagai warga negara yang taat hukum, Masyarakat Adat Mentawai secara sadar telah mengikuti skema yang berlaku untuk mengukuhkan wilayah adat mereka sebagai kawasan hutan adat dengan mengajukan usulan penetapan hutan adat kepada Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK, diantara yang mengajukan tersebut termasuk lima suku yang wilayah adanya berada di lokasi IUPHHK–HTI PT. BAE yakni Suku Sirirui seluas 1.200 hektar, Suku Saponduruk seluas 92 hektar, Suku Saumanuk seluas 396 hektar Suku Sabulukungan dan Satoutou seluas 4.000 hektar. Kebutuhan Masyarakat Adat Mentawai adalah pengakuan negara atas wilayah adat mereka, bukan mengubah dan memberikan wilayah adat mereka kepada perusahaan.
“Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Mentawai termasuk segala sesuatu hak-hak yang melekat sebagai masyarakat hukum adat telah diperkuat oleh Perda No. 11 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai,” katanya.
Karena itu, jelas Surya, masuknya Hutan Tanaman Industri (HTI) akan menghilangkan akses dan ruang kelola masyarakat adat terhadap hutan dan lahan karena saat ini dari luas Kepulauan Mentawai hanya tersisa 109.217,71 Ha (18 %) menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), sementara 491,925,42 Ha (82 %) merupakan kawasan hutan negara. “Karena itu IUPHHK – HTI PT. BAE hanya akan memperburuk rasio ketimpangan kepemilikan dan pengelolaan lahan antara masyarakat adat dengan korporasi,” tambahnya.
Kekhawatiran lain menurut Surya, dapat meningkatkan eskalasi koflik baik konflik sosial-horizontal, maupun konflik struktural-vertikal antara masyarakat dengan pemerintah dan masyarakat dengan pengusaha. Hal seperti ini hampir selalu terjadi pada setiap pemberian izin konsesi oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan, ditambah kepemilikan tanah di Pulau Siberut termasuk unik, masyarakat yang tinggal di Siberut Tengah, misalnya Desa Saibi, bukanlah pemilik tanah di sana. Namun pemilik tanahnya adalah suku-suku yang ada di Desa Madobag, Siberut Selatan.
Izin perusahaan HTI ini juga dipandang koalisi dapat menghilangkan identitas budaya masyarakat adat Mentawai. “Sebab tanah dan hutan merupakan identitas budaya Masyarakat Adat Mentawai. Menghilangkan tanah dan hutan dari Masyarakat Adat Mentawai berarti menghapuskan keberadaan Masyarakat Adat Mentawai dan menghilangkan identitas budayanya,” jelas Surya.
Hal ini, kata dia menambahkan, telah melanggar Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945 “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” jo Pasal 6 Ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.
Selain itu tanah menjadi identitas dan jati diri kesukuan orang Mentawai. Tanah dan hutan menjadi sumber ekonomi berupa perladangan campuran atau tinungglu. Hutan juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas kebudayaan Masyarakat Adat Mentawai. Karena itu menjaga kelestarian hutan sangat penting dalam budaya mentawai.
Selain tempat bergantung secara ekonomi, hutan juga menjadi sumber pangan, papan dan tanaman obat bagi Masyarakat Adat Mentawai. Hutan juga menjadi tempat aktivitas ritual budaya, misalnya adanya tradisi berburu (murourou) dan kirekat (pohon tempat prasasti keluarga yang sudah meninggal yang ditandai gambar telapak tangan dan postur tubuhnya).
Hal lainnya, masyarakat adat Mentawai juga akan kehilangan atas rasa aman dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. “Sebab penerbitan IUPHHK-HTI PT.BAE, perkebunan monokultur IUPHHK – HTI PT. BAE juga diperkirakan akan memperburuk kondisi hutan alam dan tidak mematuhi komitmen untuk mengurangi emisi karbon dalam rangka mitigasi perubahan iklim dari degradasi lahan dan deforestasi,” katanya.
Selain itu Pulau Siberut merupakan pulau yang rentan erosi dan banjir karena merupakan daerah dataran aluvial muda dengan bentuk sungai yang berkelok, sempit serta dangkal. Pengurangan tutupan hutan di Pulau Siberut untuk perkebunan monokultur HTI PT. BAE akan mempertinggi risiko bencana banjir sebab ada wilayah DAS/Sub DAS tiga sungai (Siberut, Saibi, Simalegi) yang masuk dalam rencana lokasi HTI.
Dengan demikian, Penerbitan IUPHHK-HTI PT. BAE membuka ruang pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud oleh pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. jo pasal 9 ayat (3) UU 39 Tahun 1999 tentang HAM “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
IUPHHK-HTI PT. BAE menurut Koalisi juga memicu rasa takut dan atau menghilangkan hak atas rasa aman dan tenteram bagi Masyarakat Adat Mentawai untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu di atas dan atau untuk wilayah adat dan identitas budaya mereka. Tentu penerbitan IUPHHK-HTI PT. BAE melanggar Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. jo Pasal 30 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”
Pelanggaran lain, masyarakat adat Mentawai akan kehilangan tempat tinggal, harta benda dan penghidupan yang layak. “Sesuai hasil overlay Peta IUPHHK-HTI PT.BAE dengan Peta Kajian Pemanfaatan Hutan LIPI, rincian luas perladangan dan areal peternakan masyarakat (durian, kuini, cengkeh, sawah, pinang, ternak) yang berada pada lokasi IUPHHK-HTI PT. BAE berjumlah total 2.703 ha. Selain itu, lokasi IUPHHK-HTI PT.BAE seluas 19.876,59 Ha juga berada pada wilayah Pemukiman, dan seluas 5 ha berada pada sumber air masyarakat,” jelas Surya.
Di lapangan, lokasi IUPHHK-HTI PT. BAE juga berada pada kawasan tanaman pangan masyarakat seperti sagu, pisang, talas, ubi, durian, langsat, cempedak dan tanaman komersil berupa cengkeh, kakao, pinang dan lain-lain
Dengan demikian, penerbitan IUPHHK-HTI PT. BAE mengancam dan/atau merampas kehidupan dan sumber-sumber kehidupan Masyarakat Adat Mentawai. Olehnya, penerbitan IUPHHK-HTI PT.BAE telah melanggar Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. jo Pasal 40 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
Berdasarkan uraian di atas, maka negara dalam hal ini adalah Pemerintah RI Cq Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan Gubernur Provinsi Sumatera Barat serta PT. BAE telah melanggar HAM Masyarakat Adat Mentawai yang dilindungi oleh UUD 1945, UU 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan secara internasional hak-hak tersebut juga diakui lewat United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples.
Menanggapi laporan tersebut, Ketua Komnas HAM Sumbar Sultanul Arifin akan menindaklanjutinya ke Komnas HAM RI. “Besok kami akan ke Jakarta untuk membahas pelaporan ini,” katanya.
Kedatangannya ke Jakarta terkait pembagian kewenangan Komnas HAM PRI dan Komnas HAM Sumbar. “Karena yang dilaporkan ada Menteri dan ada Gubernur,” katanya.
Comments