top of page
Gambar penulisycmmentawai

Tinungglu, Kearifan Lokal di Mentawai untuk Ketahanan Pangan


Para perempuan di Saibi, Siberut Utara, Mentawai berjalan kaki bersama saat pulang dari ladang. (Foto: Patrisius/Mentawaikita.com)

SAIBI--Sejak dulu aktivitas masyarakat Mentawai membuka lahan untuk berladang atau ‘tinungglu’ telah ada dan menjadi tradisi sejak lama, bahkan dianggap warisan oleh nenek moyang orang Mentawai kepada generasinya sehingga terus dilakukan masyarakat Mentawai secara turun temurun hingga saat ini.

Bahkan orang yang tinggal di perkampungan dan tidak punya ladang ‘tinungglu’ dianggap pemalas, karena tidak ada alasan untuk tidak membuka lahan karena lahan di Mentawai sangat luas. Menggarap lahan suku lain di Mentawai untuk ‘tinungglu’dapat dilakukan sepanjang digunakan untuk berladang.

Tinungglu sebuah hamparan lahan yang ditanami berbagai jenis tanaman yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan, biasanya berisi pisang, keladi, kelapa, ubi yang diperlukan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Tinungglu sebagai lumbung yang disiapkan untuk keberlanjutan pemenuhan kebutuhan hidup dan dapat menjadi andalan menghadapi situasi sulit seperti bencana termasuk pada situasi pandemi Covid-19 saat ini.


Di Desa Saibi Samukop Kecamatan Siberut Tengah, warga umumnya memiliki tinungglu meskipun dulu sempat ada program cetak sawah yang digagas pemerintah daerah untuk menjawab ketahanan pangan dan peningkatan perekonomian masyarakat.

Program cetak sawah kini tak lagi berjalan, bekas lahan sawah yang ada di Saibi kini sudah ditanami tanaman lain. “Masyarakat sekarang ini tidak lagi membuka sawah, bekas lahan sawah yang pernah digarap sekarang ditanami pinang lagi,” ujar Lukpin Jalismar Sakatsilak, Warga Desa Saibi kepada Mentawaikita pertengahan Oktober lalu.

Pandemi Covid-19 tidak membawa dampak signifikan bagi warga Saibi. “Kami tidak terlalu sulit mendapatkan makanan dan kegiatan masyarakat seperti biasa, tidak terlalu berdampak signifikan pada ketahanan pangan selama pandemi, ada atau tidak bantuan dari pemerintah pada saat terjadi bencana, masih bisa kita dapatkan sumber makanan dari ladang” ujar Linus Sanenek, warga Dusun Sibudda Oinan, Desa Saibi Samukop.

Jika sumber karbohidrat didapat dari tanaman di tinungglu, sumber protein biasa didapat warga dari sungai, laut maupun hewan ternak. Para perempuan bisa mencari lokan, udang,di sungai atau muara yang biasa disebut paliggagra atau laki-laki mencari ikan di laut.

Raymundus, warga Dusun Kaleak, mengatakan hingga saat ini masih mengkonsumsi sagu, bahkan untuk bekal saat melaut sehingga tak terlalu bergantung pada beras yang harus dibeli

Selama ini keluarga Raymundus mengolah sendiri sagu menjadi tepung untuk makanan pokok keluarga. Satu batang pohon sagu diolah menghasilkan 7 karung tepung ukuran 20 kg. “Biasanya bertahan sampai 1 bulan dan itu bisa membantu bahan makanan pokok di rumah,” kata Raimundus.

Martinus Labu Laheu, warga Dusun Sua, juga mengaku keluarganya tak pernah kelaparan. Ladangnya seluas 1 hektar ditanami pisang, kelapa, nenas, ubi, keladi. “Kalau ikan tidak ada di rumah kami pergi memancing ikan di laut,” katanya.

Jika hasil tangkapan ikan banyak, biasanya akan dijual sebagian kepada penampung ikan yang ada di dusun itu dan uang yang diperoleh digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga, namun saat ini harga ikan sudah turun, namun apa yang dia kerjakan masih cukup memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sementara itu Jamin, warga Totoet yang memiliki 2 hektar ladang mengaku tak pernah kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya. Kalau sekali panen sudah cukuplah untuk kebutuhan keluarga di rumah dan juga biaya pendidikan anak.

“Bahan makanan di Mentawai itu banyak, kalau tidak ada keladi kami bisa berganti makanan dengan pisang, ubi, kemudian sagu, jadi diantara semua itu bisa menjadi alternatif untuk pilihan makanan, belum ada cerita di Mentawai terjadi kelaparan, ada pun itu orang malas berladang,” ujar Jamin.

Jairusman Sakerenganleleggu, seorang warga Saibi yang memiliki ladang di dekat jalan lintas Saibi-Kaleak bahkan sudah menanam hampir 1.000 batang pisang. Selain itu juga ada keladi, ubi, sayuran, pepaya, jengkol, petai, cabai. Dalam satu hamparan lahan yang dia miliki juga ada jenis tanaman lain yang ditanam seperti cengkeh, karet.

Kekhawatiran Masuknya Hutan Tanaman Industri

Meskipun masyarakat Saibi sudah mandiri secara pangan namun kehadiran PT.Biomas Andalan Energi yang mendapat izin perkebunan hutan tanaman industri mengkhawatirkan sejumlah warga.

PT. BAE telah mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan pengelolan pemanfaatan hasil hutan kayu di dua wilayah Siberut menjadi Hutan Tanaman Industri seluas 19.876,59 hektar.

Lokasi HTI berada pada lahan produktif warga dikhawatirkan akan mengancam tanaman dan sumber ekonomi. Lahan produktif itu berada di Sirisurak, Kaleak dan Sibudda Oinan.

Ateng Sapojai, seorang warga Sirisurak, Desa Saibi Samukop yang sudah sejak lama bertani pisang, coklat, karet, keladi khawatir masuknya perusahaan HTI di daerah Sirisurak akan mengancam pada lahan masyarakat dimana lahan yang digunakan untuk berladang merupakan milik suku lain.

“Berat kita terima kalau kemudian perusahaan itu masuk, karena ancamannya bisa hilang mata pencaharian kita padahal di situ harapan kita untuk memenuhi kebutuhan pangan, perekonomian, sumber penghasilan masyarakat,” ucap Ateng.

“Kita menanam, di tanah suku lain, kita hanya menumpang belum berhak kita memperjualbelikan karena bukan milik kita, tetapi tidak semudah itu juga kami relakan begitu saja tanaman kami, kami berharap kepada pemilik lahan kalau bisa jangan jual tanah kepada perusahaan,” ujar Ateng.

Ateng berharap pemilik lahan dapat mempertimbangkan dengan keberadaan petani di Sirisurak. “Tergantung pada yang punya tanah, atau pada pemilik lahan, kita tidak punya kekuatan, dan harapan kami janganlah diganggu ladang masyarakat karena disitulah tempat penghidupan masyarakat,” ucap Ateng.

Selain itu juga kekhawatiran dengan kerusakan lingkungan. “Hujan satu hari saja di sini sudah banjir, apalagi nanti masuk perusahaan dengan melakukan penebangan kayu tentu akan banyak terjadi kerusakan lingkungan apalagi daerah Sirisurak menjadi langganan banjir saat hujan,” ucap Ateng.

188 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page