YCMM Siapkan Staf Mengadvokasi Anggaran untuk Kelompok Marginal
- ycmmentawai
- 5 hari yang lalu
- 2 menit membaca

PADANG– Penganggaran yang baik adalah penganggaran yang berpihak pada semua kelompok, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, anak, dan kelompok marginal lainnya.
Hal ini menjadi fokus utama dalam pelatihan "Pengawalan Integrasi GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) dalam Proses Perencanaan Pembangunan Desa dan Daerah" yang digelar di Pangeran City Hotel, Padang, pada 23–24 Juni 2025.
Pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) melalui Program Estungkara ini diikuti oleh staf program dari berbagai wilayah dampingannya di Mentawai.
Syafrimet Aziz dari Jemari Sakato, salah satu pemateri dalam kegiatan tersebut, menjelaskan bahwa dalam hirarki perencanaan anggaran, proses dimulai dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) selama 20 tahun, dilanjutkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) lima tahunan, hingga Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahunan. Rangkaian ini kemudian diturunkan menjadi RAPBD, APBD, Rincian APBD, dan DPA. Di level perangkat daerah, penyusunan dilakukan melalui dokumen Renstra, Renja, dan RKA.
"Tahapan ini juga tidak jauh berbeda di tingkat desa dimana di tingkat desa ada RPJMDes, RKPDes, RAPBdes hingga sampai pada DRK (aftar Rincian Kegiatan)", jelasnya.
Selain dari tahapan, jadwal atau kalender penyusunan APBD diatur sesuai dengan tahapan. Mulai dari Musrenbang tingkat desa, kecamatan, kabupaten sampai pada penetapan APBD yang ditetapkan dalam bentuk perda dan Perbup. Demikian juga halnya di tingkat desa.
"Proporsi penganggaran sebuah daerah dan desa dapat dibilang baik apabila APBD atau APBDesnya sedikit namun belanja kebutuhan sosial masyarakatnya tinggi. APBD atau APBDesnya dibilang sejahtera apabila anggarannya besar dan belanja kebutuhan sosialnya tinggi", katanya.
Dalam hal ini kata syafrimet, dibutuhkan advokasi yang kuat agar anggaran, baik APBD maupun APBDes, menjadi lebih inklusif dan memihak kelompok rentan. Ia menambahkan, seni dalam advokasi bisa berbentuk lobi, diskusi, dan strategi lain agar suara kelompok marginal dapat terakomodasi.
Tarida Hernawati, Project Manager Program Estungkara YCMM, menyebutkan bahwa selama tiga tahun pelaksanaan program, sudah mulai terlihat keberpihakan pada kelompok marginal di tingkat desa. Namun, proporsinya masih kecil dan perlu ditingkatkan.
“Di desa dampingannya, seperti Malancan (Siberut Utara), Muntei (Siberut Selatan), dan Nemnem Leleu (Sipora Selatan), proses perencanaan mulai inklusif. Sudah ada musdus dan musdes khusus perempuan, dan keterwakilan pemuda dan perempuan dalam forum diskusi juga meningkat,” ungkap Tarida.
Ia berharap pelatihan ini menjadi momentum bagi desa-desa lain di Mentawai untuk mendorong partisipasi kelompok marginal dalam proses penganggaran yang lebih adil dan inklusif.
"Misalnya sudah ada musdus dan musdes khusus perempuan, mulai adanya keterwakilan kelompok perempuan, orang muda dalam forum-forum diskusi yang dilaksanakan desa di luar dari perwakilan PKK, Karang taruna dan kelompok lainnya. Tentunya kita berharap dengan pelatihan ini kelompok marginal yang ada di desa dampingan dan desa lainnya di Mentawai dapat lebih meningkat dan lebih inklusif lagi dalam penganggaran", katanya.
Sementara itu, Ketua YCMM Rifai mengungkapkan bahwa advokasi terhadap APBD di Mentawai sudah dilakukan sejak sekitar 10 tahun lalu. Saat itu, banyak ditemukan alokasi anggaran di berbagai OPD yang manfaatnya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat.
"Tentunya advokasi yang dilakukan saat ini dalam rangka mendorong dan mengintegrasikan Gedsi dalam penganggaran di tingkat kabupaten dan desa. Karena Gedsi memiliki prinsip yang akses yang baik, partisipatif, kontrol dan manfaat sehingga menghasilkan penganggaran yang memihak untuk semua terutama bagi kelompok rentan dan marginal", katanya.
Comments