SIKABALUAN-Sengketa lahan di kawasan konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA)/HPH PT Salaki Summa Sejahtera (SSS) kembali terjadi. Meskipun kasus ini sudah terjadi sejak lama namun hingga saat ini belum ada penyelesaiannya. Sengketa terjadi antara Cosmas Reigu selaku penggugat dengan Baigu Saurulenggu sebagai tergugat dengan objek sengketa lahan di Mongabili yang berada antara perbatasan SImalegi dengan Desa Sigapokna Kecamatan Siberut Barat.
Beberapa kali gelar perkara dilakukan atas sengketa lahan ini baik yang difasilitasi oleh HPH. PT. Salaki Summa Sejahtera melalui KSU. Purimanuiajat maupun yang dimediasi oleh pemerintah dusun dan desa. Namun kesepakatan yang bisa diterima kedua pihak belum kunjung tercapai.
Karena tak ada hasil, sengketa lahan Mongabili dibawa ke tingkat kecamatan yang dimediasi oleh Camat Siberut Barat, Jop dan Danramil 01 Sikabaluan, Kapten. Herynuddin dan perwakilan dari Polsek Sikabaluan di Aula Kantor Camat Siberut Utara pada Jumat (6/11/2020). Hadir sebagai penggugat Cosmas Reigu namun Baigu Saurulenggu sebagai tergugat tidak hadir.
Cosmas Reigu, pihak penggugat mengatakan, lahan Mongabili masuk dalam areal RKT (Rencana Kerja Tahunan) HPH PT. Salaki Summa Sejahtera sejak 2011, sejak itu pula sengketa mulai terjadi. Saat itu, perusahaan sedang melakukan pengolahan kayu, Cosmas Reigu Cs menuju lokasi dan melakukan pemalangan sebagai tanda larangan agar kayu di lahan itu tidak diolah.
"Karena kita sebagai pemilik lahan merasa belum dilibatkan dalam negosiasi serta belum menyerahkan lahan untuk diolah sehingga kita hentikan aktifitas mereka," kata Cosmas Reigu pada Mentawaikita.com usai pertemuan di kantor camat.
Lebihlanjut dikatakan Cosmas Reigu, saat itu perusahaan menghentikan pengolahan kayu. Namun pada 2018, PT. SSS kembali melakukan pengolahan kayu tanpa sepengetahuan Cosmas Reigu sehingga sengketa mencuat kembali.
"Ada pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan dan menyerahkan lahan tersebut pada SSS. Sementara saya sebagai pemilik lahan yang sah tidak pernah menyerahkan lahan tersebut," katanya.
Cosmas Reigu mengatakan pihaknya sudah berulangkali menyurati pihak PT. Salaki Summa Sejahtera dan KSU. Purimanuaijat selaku koperasi yang menjadi perpanjangan tangan pihak SSS dengan masyarakat supaya tidak mengolah kayu yang ada di lahan Mongabili dan tidak melakukan pembayaran fee kayu pada pihak lain selain pada Cosmas Reigu. Diketahui fee kayu Rp37.500 tiap kubik kayu yang diambil.
"Sudah ribuan kubik kayu yang mereka keluarkan dan mereka jual. Sementara saya pemilik lahan tidak menerima fee dan sudah menyurati pihak perusahaan untuk tidak diolah sebelum ada hasil gelar perkara antara saya dengan Baigu Saurulenggu,’’ katanya.
Berdasarkan surat yang ditujukan Comas Reigu kepada pimpinan PT. Salaki Summa Sejahtera pada 16 November 2018, ditegaskan bahwa lahan Mongabili yang terletak di areal perbatasan Sigapokna dengan Simalegi merupakan miliknya dan tidak diizinkan untuk diolah baik PT. Salaki Summa Sejahtera maupun KSU. Purimanuaijat.
Pada 24-25 Januari 2019, dilangsung rapat penyelesaian sengketa di Dusun Tiniti Desa Sigapokna, dimana Cosmas Reigu dan pihak Baigu Saurulenggu hadir. Rapat tersebut berakhir dengan memenangkan Baigu. "Kami hadir. Namun hasil putusan tidak kami terima dan tidak kami tanda tangani karena keputusannya sepihak," kata Cosmas.
Pada 31 Januari 2019, pihak Cosmas Reigu kembali menyurati PT. Salaki Summa Sejahtera dan KSU. Purimanuaijat untuk menjelaskan bahwa lahan Mongabili sedang ada sengketa dan jangan melakukan pengolahan kayu. Lalu pada 1 Februari 2019 Cosmas Reigu kembali menyurati pihak PT. Salaki Summa Sejahtera untuk menegaskan bahwa hasil rapat 24-25 Januari 2019 yang digelar di Tiniti yang memenangkan Baigu Cs tidak diakui. Dia juga menyampaikan keberatan atas hasil kesepakatan sengketa tanah 24-25 Januari itu kepada Camat Siberut Barat, Kapolsek Siberut Utara dan Danramil Siberut Utara pada 1 Februari 2019 dengan diketahui kepala Desa Malancan, Jalimin. Dalam suratnya Cosmas menyatakan pernyataan saksi dalam rapat tersebut tidak jelas dan ada kesan sudah diatur.
Terkait dengan surat keberatan Cosmas Reigu atas putusan rapat yang digelar pihak KSU. Purimanuaijat di Tiniti, Camat Siberut Barat, Jop mengeluarkan surat yang ditujukan kepada pihak terkait supaya tidak melakukan pengolahan di Mongabili sebelum adanya putusan.
Selain Cosmas Reigu, pihak Tonnak Saurulenggu juga menolak hasil putusan rapat yang digelar pihak KSU. Purimanuaijat dengan melayangkan surat pada 9 Juli 2020. Tonnak Cs dalam suratnya menyatakan bahwa lahan Mongabili di Simalegi adalah milik keturunan Saurulenggu pihak Tonnak bukan Baigu Saurulenggu.
Proses jual beli lahan Mongabili menurut Cosmas Reigu terjadi 2 Januari 2008 sebelum RKT HPH masuk ke wilayah itu. Jual beli terjadi antara Cosmas selaku Ketua KSU Tainaok dengan Sareaken Saurulenggu selaku Ketua Suku Saurulenggu. KSU Tainaok dulu rencananya akan bekerjasama dengan HPH PT. SSS untuk mengolah lahan namun tidak jadi dan perusahaan kerjasama dengan KSU Purimanuaijat.
Saksi proses jual beli itu dari pihak Saurulenggu diantaranya Jak En, Paramena, Pamea, Jon Arahap dan Jakobus. Lalu dari pemerintahan, ada Ismanto Timon sebagai Kepala Dusun Terekanhulu dan Igus Baigu selaku aparatur Pemerintah Dusun Malancan Barat dan Kepala Desa Malancan, Marulis Sabeleaken.
Pada rapat 6 November lalu, Camat Siberut Barat, Jop mengatakan keputusan tidak dapat diambil karena pihak tergugat dalam hal ini Baigu Saurulenggu tidak hadir. Sehingga hanya menerima keterangan dari Cosmas Reigu sebagai penggugat dan Teu Roji Sakoan sebagai saksi.
"Gelar perkara akan kembali digelar setelah semuanya siap untuk hadir. Bila nantinya pihak tergugat tidak hadir maka akan dilakukan upaya paksa untuk dapat hadir akan persoalan ini tidak berlarut", katanya.
Jop, menyayangkan sikap dari PT. SSS dan KSU. Purimanuaijat yang membiarkan sengketa lahan terus terjadi dan mengolah lahan masyarakat yang masih bersengketa tanpa ada penyelesaian yang baik dan berimbang dengan tidak memihak siapapun.
Sementara Danramil 01 Sikabaluan, Kapten. Herynuddin mengatakan persoalan lahan yang terjadi di wilayah konsesi HPH. PT. Salaki Summa Sejahtera kerap terjadi. Hanya saja masyarakat tidak ada yang mau melaporkan persoalan tersebut ke ranah hukum.
"Laporkan persoalannya ke tingkat polsek, polres, polda hingga mabes polri sehingga masyarakat tidak dirugikan. Sudah banyak masalah di kawasan konsesi hanya saja tidak ada masyarakat yang melaporkan dan bahkan ditakut-takuti untuk tidak melapor," katanya.
Sengketa Terjadi, Aktivitas Jalan Terus
Sengketa lahan itu tidak menghalangi aktivitas bongkar muat perusahaan pantai Dusun Tiniti Desa Sigapokna Kecamatan Siberut Barat. Pada pertengahan Juli 2020 lalu, terlihat aktifitas muat ribuan meter kubik kayu bulat milik HPH PT. Salaki Summa Sejahtera. Dibantu dengan alat khusus untuk mengangkat dan menyusun kayu bulat, TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat) di logpond mengikat kayu dengan tali yang sudah disediakan.
"Setelah cukup beberapa meter kubik, ada kapal yang menarik kayunya untuk dimuat pada tongkang," jelas Barnabas Saerejen saat itu.
Selain petugas yang mengikat tali, juga ada dua tenaga juru tulis kode kayu dan ukuran kayu suku pemilik kayu yang akan dimuat diatas kapal. Saat itu cuaca terlihat cerah dan laut tenang.
Barnabas Saerejen, mantan kepala Desa Malancan Kecamatan Siberut Utara mengatakan pada kayu yang dimuat di atas ponton milik HPH. PT. Salaki Summa Sejahtera masih ada yang bermasalah. Misalnya lahan milik Saurulenggu yang terletak di Mongabili dan Siaite, berbatasan antara Desa Sigapokna dan Desa Simalegi.
"Kayunya sudah termuat dan dibawa keluar Mentawai. Tapi soal sengketa kepemilikan lahan masih bermasalah sampai sekarang. Soal fee kayu yang dibuat belum jelas dibayarkan kepada siapa", katanya.
Sengketa kepemilikan lahan di kawasan konsesi HPH. PT. Salaki Summa Sejahtera beberapa kali terjadi. Saling klaim kepemilikan lahan antar suku sering bermunculan. Kasus terbesar dan menyedot perhatian pihak pemda Mentawai, Polres, DPRD Mentawai adanya pemotongan jembatan di Tobilanggai sebagai akses perlintasan kayu olahan dari RKT (Rencana Kerja Tahunan) ke logpond.
"Sekarang ada lagi sengketa lahan milik Saurulenggu di Mongabili dan Siaite. Belum jelas duduk perkaranya, pengolahan lahan sudah selesai, fee kayu belum jelas apakah sudah dibayar dan dibayarkan kemana," kata Barnabas Saerejen yang dihubungi pada Minggu (15/11/2020).
Renatus Saerejen, salah seorang keturunan dari Saurulenggu mengatakan bahwa lahan di Mongabili milik keturunan Baigu Saurulenggu. Keturunan Saurulenggu memiliki tiga lahan yang telah dibagi, diantaranya Mongabili milik keturunan Baigu, lahan di Siaite milik keturunan Levi dan Leu Rauk milik keturunan Sereaken.
"Pembagian lahan ini terjadi pada saat lakunya rotan. Sehingga disepakati kalau ada yang mengolah manau atau rotan di tiga lokasi ini silahkan diambil feenya atau diambil rotannya berdasarkan pembagian yang sudah diatur," katanya.
Lebih lanjut dikatakan Renatus, pada saat pembukaan lahan tahun 2018 oleh PT. Salaki Summa Sejahtera melalui koperasi, uang pulaju mone di Mongabili diserahkan kepada keturunan Baigu, lahan Siaite diserahkan kepada keturunan Levi.
"Masing-masing lahan uang pulajunya Rp15 juta. Saya ikut menjemput sebagai keturunan Levi,, kata Renatus.
Menanggapi sengketa yang sering terjadi di areal konsesi perusahaan di Mentawai, legal officer Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Surya Purnama mengatakan seharusnya HPH PT. SSS menghormati hukum adat yang sedang berlangsung dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat Mongabili.
"Penghormatannya bisa dengan menghentikan aktifitas sementara dan penundaan pembayaran fee kayu, sampai persoalan sengketa tanah ulayat ini selesai, atau PT.SSS bisa menjadi penengah dalam persoalan ini, bukan menjadi peruncing sengketa dengan memberikan fee kayu ke salah satu pihak saja," katanya, Senin (16/11/2020).
Selain itu, untuk menyelesaikan adanya sengketa dan saling klaim lahan di atas tanah ulayat atau tanah adat, proses pengakuan masyarakat adat atas wilayah adatnya bisa menjadi salah satu jalan keluar karena tanah-tanah tersebut akan dipetakan dan diakui. "Untuk instrumen hukumnya di Mentawai ada yakni Perda 11 tahun 2017 dan Perbup No 12 tahun 2019.
Sementara Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Rifai Lubis menilai berbagai konflik itu terjadi karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak mengakui hak-hak masyarakat adat Mentawai atas tanah dan hutan di atasnya. Sehingga dengan serampangan memberikan izin tanpa melihat fakta atas kepemilikan dan penguasaan adat di atas konsesi yang diberikannya. Karena itu, konflik-konflik tersebut tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab KLHK.
"Mungkin para pemilik tanah di atas konsesi PT. SSS yang merasa hak-haknya dirugikan, sudah saatnya menggugat PT. SSS dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas kerugian yang mereka alami," katanya.
Comments